Setelah mengisahkan tentang gelar Marga Utama pada Raden Katuhu, “Serat Babad Banyumas” kemudian menceritakan tentang halangan yang dihadapinya.
Ternyata, jabatan menjadi Adipati Wirasaba membuat iri hati Ki Buwang, adik dari Adipati Paguwan, Adipati Wirasaba.
Hingga dengan tipu muslihatnya, Ki Buwang berhasil mengelabuhi kakaknya. Prajurit Wirasaba diberangkatkan untuk menghadang Raden Katuhu agar tidak masuk Wirasaba.
Bahkan, akibat ulah Ki Buwang itu, Adipati Wirasaba merasa menyesal telah mengangkat anak Raden Katuhu. Sampai-sampai memeberi pantangan pada keturunannya untuk tidak pernah mengangkat seorang anak.
Selengkapnya, silahkan baca tulis terjemahan saya atas naskah “Serat Babad Banyumas Mertadiredjan” di bawah ini.
Sengaja tidak saya sertakan naskah asli dalam bahasa Jawanya. Agar pembaca lebih bisa menikmati Babad Banyumas sebagai buku bacaan.
Selamat membaca.
Kisah Ki Buwang Yang Mati Terbuang
Di kediaman Kyai Patih diselenggarakan sebuah perayaan. Kerbau, kambing, bebek, ayam. Semua disembelih untuk sajian
Ramai sekali yang bekerja. Seluruh pelayan dan pejabat. Semua berangkat menjemput sang pengantin. Sampailah mereka di Sri Manganti. Tak lama kemudian keluarlah mereka dengan menaiki tandu pengantin.
Bergemuruh gamelan berbunyi. Terompet ditiup saling bersahutan. Prajurit Carabalen jadi penunjuk jalan. Gong besar bergaung menimpali. Sampailah rombongan itu di Kepatihan tempat pernikahan.
Semalam suntuk perayaan digelar. Besoknya berangkatlah sang adipati pulang ke Wirasaba. Gajah pembawa tandu pengantin berjalan di depan.
Tidak diceritakan perjalanan mereka, hingga sampailah di Pegunungan Sumbing, Ki Buwang mohon diri pulang lebih dulu.
Waktu itu dikisahkan Adipati Paguwan sudah mulai sembuh sakitnya. Sang anak, Raden Katuhu, ditunggu kepulangannya.
Kala itu saat ia sedang duduk di pendapa. Datanglah Ki Buwang menghadapnya.
Berkata sambil menangis tersedu. Disampaikan bahwa Raden Katuhu menyalahi janji. Hingga timbul keputusan raja Majapahit.
Bahwa Adipati Paguwan diberhentikan. Raden Katuhu yang menggantikan bertakhta di Kadipaten Wirasaba. Dan telah diberi gelar Adipati Marga Utama. Bahkan diberi istri dan gajah.
Ki Buwang menakut-nakuti bahwa Adipati Paguwan akan dibuang. Semua saudara juga tidak diberi kekuasaan apapun.
“Saya mendengar sendiri pembicaraannya. Waktu malam saat mereka saling berkata!”
Adipati Paguwan kemudian berucap, “Kalau begitu keadaannya, adikku, saya tidak menduga sama sekali. Apakah benar apa yang kamu katakan?”
Ki Buwang gagap menjawab, “Kalau Paduka tidak percaya, saya akan menyiapkan senjata seadanya yang kita punya. Saya akan menghadang di jalan. Saya tak akan mundur menghadapinya.”
Kyai Buwang langsung bersiap senjata. Membawa tombak juga senapan. Lengkap empat puluh prajuritnya.
Setelah mereka sudah berangkat Adipati Paguwan masuk ke dalam puri. Berkata dalam hati dengan kesedihan. Ada kekecewaan yang dirasakan.
“Kalau saya ikut, hilang kewibawaan saya. Seperti bukan seorang adipati saja
Yang takut dengan kematian, kalau saya ikut adik saya, Ki Buwang. Saya memilih untuk berdiam diri saja. Siapa tahu benar begitu kenyatannya. Seperti yang dikatakan adik saya.”
Dengan sedih haru ia berkata keras, “Jelek ternyata orang mengangkat anak. Maka, janganlah ada yang melakukan. Anak keturunanku semua!”
Adipati Paguwan kemudian duduk, seolah mendapatkan pikiran, untuk berpura-pura sakit lagi.
Sang adipati kemudian istirahat di pendapa, ditunggui oleh para selirnya. Sudah banyak obat yang diminumnya.
Selanjutnya tidak dikisahkan, Ki Buwang sudah jauh perjalannya. Sudah sampailah mereka di Palet untuk bersiaga.
Ketika itu perjalanan sang pengantin, gajah pembawa joli yang berjalan di depan. Baru menyeberang Sungai Palet Raden Katuhu menjadi sasaran. Penyerangan dilakukan dengan senapan. Dilanjutkan dengan lemparan tombak. Senapan ternyata tidak mempan.
Ki Buwang kala itu seolah lupa daratan. Mengamuk membabi buta dengan keris kecilnya. Menerjang ke sana ke mari mencari sasaran. Siapapun yang terkena langsung mati. Begitu terus dengan keris kecilnya. Sampai semua mati olehnya.
Melihat itu, Adipati Marga Utama segera mengambil keris Kyai Jimat. Dibalut kain hanya terlihat sedikit saja ujungnya, menuju lambung kiri sasarannya. Hingga Ki Buwang pun terluka.
Anaknya yang melihat langsung menyerang. Dengan menarik pedang. Hendak membunuh dari belakang .
Adipati Marga Utama tak mempan disabet pedang. Ia kemudian bangkit dan mengenali bahwa anak pamannya sedang menyerang. Dibalas dengan tusukan kerisnya. Terkena di lambung kirinya, tersungkur dan mati seketika.
Seluruh prajurit Wirasaba semua, tatu pun tak ada yang ketinggalan, mereka berlarian ke dalam hutan. Sebagian bersembunyi ke arah jurang. Sebagian lagi ada yang menyusuri sungai. Semua berlari menyelamatkan diri untuk melapor pada sang adipati.
Sementara, mayat Ki Buwang sudah dimakamkan. Adipati Marga Utama kembali melanjutkan perjalanan.
Tentang mundurnya prajurit yang menyerangnya hingga sampailah mereka di kadipaten, menghadap sang adipati.
Sang pemimpin prajurit melaporkan tentang nasib celaka sang adik, yang sudah meninggal dunia karena berperang melawan Raden Katuhu. Anaknya, Bagus Kasan yang membela yuga ikut terbunuh.
Adipati Paguwan tak bisa berkata-kata.
Bersamaan dengan itu datanglah sang putra, Raden Katuhu. Gemuruh suara riuh rendah menyambutnya. Kedatangannya menjadi tontonan.
Tak lama kemudian masuk menghadapnya. Duduk dengan bersujud. Menyembah pada sang adipati.
Semua kemudian duduk. Adipati Marga Utama menghadap bersama sang istri di sebelahnya. Mendekat kepada sang ayah. Bersujud menyembah keduanya.
Sang ayah pun menangis tersedu melihatnya. Teringat yang telah dilakukan Ki Buwang.
[…] Baca sebelumnya: Iri Dengki Ki Buwang Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan […]