Lima Larangan Anak Keturunan

December 8, 2022 ·

Dari panggung ketoprak pula saya kemudian mengetahui pantangan yang menjadi pegangan masyarakat Banyumas. Pantangan yang bermula dari ucapan Adipati Warga Utama sebelum meninggal. Larangan atau pepali yang didasarkan pada kejadian kematian yang menimpanya.

Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan kejadian tersebut dalam tembang Megatruh. Tembang macapat yang sangat tepat menggambarkan kesedihan dan kematian.

“Samana kya adipati ngandika mring wadyanipun, padha seksenana sami, ing mbesuk sapungkuringong, anak putu aja kang ngambil mantu, wong ing Toyareka benjing, lan aja nganggo ing besuk, jaran wulu dhawuk abrit, poma ing wawekasingong, lan ywa nganggo bale bapang anak putu, miwah aja mangan sami, pindhang banyak wekas ingsun, aja lunga dina Paing, poma den angatos atos.”

Pada waktu itu, sang adipati berkata kepada para pengiringnya, “Kalian saksikanlah semua. Bahwa kelak setelah saya tidak ada, seluruh keturunanku jangan pernah mengambil menantu orang dari Toyareka. Juga jangan pernah menaiki kuda berrambut merah kelabu. Ingat-ingatlah pesan saya ini. Juga jangan pernah menggunakan balai malang. Juga jangan kalian makan pindang angsa. Setelah saya meninggal, jangan pernah bepergian pada hari pasaran Paing. Tolong perhatikan pesan ini dengan seksama!”

Setelah berpesan demikian sang adipati kemudian meninggal dunia. Seluruh keluarga menangisinya. Bersujud di kakinya. Suara tangisan terdengar bersahutan.

Jadi dari peristiwa itu, Adipati Wirasaba, Adipati Warga Utama memberikan lima pantangan kepada keturunannya.

Pantangan yang pertama adalah jangan mengambil menantu orang Toyareka. Adik Adipati Wirasaba yang bernama Ki Toyareka dianggap menjadi penyebab kematian sang kakak. Perceraian antar anak mereka sudah diputuskan empat bulan silam.

Namun, walau sudah menikah, tapi putri Wirasaba tersebut masih gadis. Karena tidak cinta, mereka tidak pernah melakukan hubungan. Mestinya, hal itu tidak perlu digugat ke Pajang, karena sudah tidak ada hubungan lagi, sudah bukan suami istri lagi.

Akan tetapi Ki Toyareka justru mendukung anaknya, Raden Sukra, untuk menggugat ke Pajang. Hingga Joko Tingkir sebagai sultan Pajang langsung menerima saja laporan itu. Langsung menjatuhkan hukuman mati para Adipati Wirasaba.

Andai saja Ki Toyareka tidak menggugat ke Pajang, kemungkinan besar peristiwa pembunuhan akibat salah paham tersebut tidak akan terjadi. Maka, demi menghindari kejadian yang sama di kemudian hari, sang adipati memberikan pantangan untuk para keturunannya.

Pantangan kedua adalah jangan menaiki kuda dengan rambut merah kehitaman. Karena pada saat berangkat ke Pajang, Adipati Wirasaba menggunakan kuda tersebut. Kuda tunggangan yang dikenal dengan nama Jaran Dawuk Bang.

Saya membaca lanjutan kisah kematian Adipati Wirasaba. Bahwa setelah melihat tuannya meninggal, kuda tunggangan yang setia justru berlari sendiri pulang ke Wirasaba.

Dalam Babad Banyumas dituliskan begini. Ini kembali saya kutip utuh dari terjemahan saya atas tembang Megatruh yang ada.

Kemudian diceritakan kuda sang adipati yang berbulu merah kelabu, mengetahui tuannya meninggal, kemudian memberontak melepaskan tali kekang yang terikat di tambatan hingga lepas.

Kuda tersebut lalu berlari kencang sekali. Pengasuhnya tidak bisa menyusul. Berlari bagaikan seorang manusia, dia bermaksud memberi kabar duka, bahwa tuannya sudah meninggal dunia.

Pengasuhnya tidak dapat mengejarnya. Langkah sang kuda sudah sampai di Wirasaba. Kemudian masuk ke dalam kandangnya sendiri, hingga membuat semua orang kaget melihat kedatangannya yang sendirian.

Melihat kuda tunggangan Adipati Wirasaba pulang sendiri, mereka menduga telah terjadi kecelakaan. Apalagi tak berapa lama kemudian pengasuh kuda menyusulnya. Begitu kencang larinya dalam menyusul.

Setelah ditanyai oleh Nyai Adipati, diceritakan semua yang terjadi. Dari awal hingga akhir. Bahwa kematian sang adipati bermula dari masalah sang putri.

Saya merasa aneh dengan larangan kedua tersebut. Bukankah kuda dhawuk bang adalah kuda yang sangat setia. Bahkan dialah yang pertama memberi kabar kematian tuannya.

Pantangan ketiga adalah jangan membangun rumah dengan bentuk bale malang. Karena kejadian pembunuhan tersebut terjadi di bale malang, ketika sang adipati tengah makan siang.

Pantangan ini sepertinya begitu ditaati. Hingga ketika saya penasaran seperti apa bentuk bale malang itu, saya tak menemukannya di wilayah Banyumas.

Dari sejarah yang kemudian saya baca, Adipati Banyumas, Yudanegara II pernah melanggar pantangan itu. Entah sengaja atau tidak. Ketika memindah dari ibukota lama ke ibukota baru, ia membuat pendopo Kadipaten Banyumas dengan bentuk bale malang.

Entah ada kaitan atau tidak, sejarah kemudian menuturkan Yudanegara II pernah hampir dibunuh orang ketika sedang tiduran di dalam bale malang pendoponya. Bahkan yang tragis, sang adipati kemudian meninggal mendadak di pendoponya itu. Hingga Yudanegara II pun sampai sekarang dikenal sebagai Yudanegara Seda Pendapa, atau Yudanegara yang meninggal di pendopo.

Pantangan keempat adalah jangan memakan pindang angsa. Karena ketika pembunuhan terjadi, Adipati Wirasaba tengah menikmati masakan itu.

Pantangan ini pun masih ditaati sampai sekarang. Orang banyak yang menikmati pindang, masakan dengan kuah buah klewek itu, namun dagingnya bukan angsa, melainkan ayam.

Hanya kadang saya bertanya, tidak ditemuinya pindang angsa di masyarakat Banyumas itu, karena menaati pantangan leluhur mereka? Atau memang angsa jarang ada yang mau makan dagingnya, dan angsa juga jarang yang memeliharanya?

Pantangan kelima adalah jangan bepergian pada hari Sabtu Pahing. Karena peristiwa pembunuhan itu terjadi pada hari Sabtu Pahing.

Pantangan ini sepertinya sudah banyak yang mengabaikan. Hanya generasi tua saja yang masih mengingatnya. Mungkin pantangan itu melekat sejak kecil, ketika kisah dalam Babad Banyumas masih dipentaskan dalam ketoprak. Atau dikisahkan di rumah-rumah menjadi pengantar tidur bagi anak cucu mereka.

Sekarang pantangan hari Sabtu Pahing seolah memudar. Generasi muda sudah mengabaikannya. Apakah karena menganggap pantangan adalah sesuatu yang tidak rasional? Atau karena tidak membaca Babad Banyumas?

Kategori:Wacanan
SEUWISE

Dimana Wirasaba?

Nama Wirasaba sudah saya dengar sejak belia. Sejak pertama menyaksikan ketoprak tobong dengan lakon “Geger Wirasaba” yang dilanjut “Jaka Kaiman Winisuda”. Dulu, dua lakon itu digelar bergantian di balai desa kampungku. Hari pertama “Geger Wirasaba” yang mengisahkan kematian Adipati Wirasaba,…
WACA
LIYANE

Moto Banyumas

  Serial Dongeng Babad Banyumas untuk Mahasiswa.      
WACA
LIYANE

Pengusiran Raden Putra Dari Majapahit Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

Setelah mengisahkan tentang Kerajaan Majapahit dan Kadipaten Wirasaba, “Serat Babad Banyumas” kemudian menceritakan tentang sosok Raden Putra. Raden Putra adalah adik Raja Majapahit, Prabu Ardiwijaya. Dalam naskah “Babad Banyumas Wirjaatmadjan” Raden Putra disebut dengan nama Raden Baribin. Pengisahan Raden Putra…
WACA
LIYANE

Pohon Tembaga dalam Plesiran Babad Banyumas

Petunjuk utama adalah pohon Tembaga. Petunjuk tentang tempat di mana Adipati Mrapat harus mendirikan ibu kota Kabupaten Banyumas. “Yen sirarsa widada, ing kawibawanireku, amengkoni Wirasaba, sira ngaliha nagari, saking bumi Wirasaba, sira manggona ing kulon, ing tanah bumi Kejawar, prenah…
WACA
LIYANE

Mertadiredjan Banyumas Chronicle

Segera Terbit
WACA
LIYANE

Terjemah Naskah Babad Banyumas Mertadiredjan

Buku “Babad Banyumas Mertadiredjan” adalah terjemahan dari naskah “Serat Babad Banyumas” lengkap dengan naskah aslinya yang berupa tembang Macapat. Sedangkan buku “Terjemah Naskah Babad Banyumas Mertadiredjan” ini hanya memuat terjemahan Bahasa Indonesianya saja. Tanpa naskah aslinya yang dalam Bahasa Jawa.…
WACA
  1. Pantangan hari Sabtu bagi warga Banyumas, saya kira itu ada kaitan dengan larangan Tuhan kepada Bani Israil yang tidak diperbolehkan melakukan aktifitas keduniawian pada hari Sabat..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Babad Banyumas - Rujukan Utama Sejarah Banyumas.