Pendapa itu bukan bangunan aslinya. Hanya tiruannya saja. Maka orang pun menyebutnya pendapa duplikat.
Bangunan aslinya sudah dipindah ke kota Purwokerto pada tahun 1937. Ketika Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto bergabung. Namun, warga Banyumas masih meyakini bangunan tiruan itu sebagai Pendapa Sipanji. Lengkap dengan kekeramatannya.
Pendapa Sipanji dianggap keramat, salah satunya ketika terjadi Blabur Banyumas pada tahun 1861. Pada waktu itu, kota Banyumas tenggelam dalam banjir besar setinggi 4 meter. Sungai Serayu meluap selama tiga hari, sejak tanggal 21 sampai 23 Pebruari 1861.
Penduduk yang berada di sekitar rumah bupati naik ke atap Pendapa Sipanji. Dalam mitos yang beredar sampai sekarang, mereka merasa, ketika arus air meninggi atap pendapa turut terangkat mengikuti tinggi air. Seolah tiang-tiangnya lepas dari lantainya, atapnya mengapung mengambang. Namun ketika air surut atapnya kembali turun dan tiang-tiangnya terpasang lagi tepat pada pondasinya. Pendapa pun kembali tegak seperti semula.
Pendapa Sipanji adalah bangunan pertama yang didirikan Bupati Banyumas Tumenggung Yudanegara II ketika memindah ibu kotanya. Pada tempat yang baru, sebuah perbukitan ladang padi gunung bernama Gegerduren, dibangunlah sebuah pendapa sebagai pusat pemerintahan.
Nama Sipanji diambil dari nama anaknya, Raden Panji Gandakusuma. Nama asli sang anak adalah Raden Bremara Mertawijaya. Namun karena sejak kecil berada di Keraton Kartasura, oleh sang raja Mataram, Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi, diberi nama baru: Panji Gandakusuma. Nama itu diberikan karena kemerduan suaranya ketika menyanyikan Serat Wiwaha Jarwa.
Kemungkinan Pendapa Sipanji dibangun kisaran tahun 1727. Sebuah bangunan yang dihubungkan oleh bale malang dengan rumah utama yang dilengkapi pringgitan. Atapnya menggunakan dua talang. Dinding kanan kirinya dipasangi jendela.
Pembangunan bale malang tersebut dianggap sebagai pelanggaran atas pantangan yang pernah diucapkan leluhurnya, Adipati Warga Utama I. Hingga pada suatu ketika Yudanegara II yang tengah beristirahat di bale malang pernah akan terbunuh oleh dua orang penjahat.
Bahkan, meski lolos dari pembunuhan tersebut, akhirnya Tumenggung Yudanegara II pun meninggal di pendapa yang dibangunnya. Karena itulah maka sang bupati dikenang dengan nama anumerta Yudanegara Seda Pendapa, atau Yudanegara yang meninggal di pendapa.
Babad Banyumas Wirjaatmadjan mencatat kejadian tragis tersebut.
“Dikisahkan waktu itu di Keraton Mataram Kartasura terjadi huru hara. Sebabnya Kanjeng Susuhunan Paku Buwana II berpihak kepada pasukan Cina yang tengah berperang melawan Belanda.
Pada saat perang, Tumenggung Yudanegara II pulang ke Banyumas. Hal itu membuat Paku Buwana II marah.
Sesampainya di Banyumas, Paku Buwana II kemudian mengirimkan surat melalui utusannya. Surat yang isinya memerintahkan mengundang datang kembali ke Kartasura. Bila menolak, maka akan dijatuhi hukuman mati.
Sang anak, Raden Panji Gandakusuma yang mendengar perintah raja tersebut kemudian mengirimkan utusannya untuk mendahului pergi ke Bayumas untuk memberitahu sang ayah.
Ketika utusan sang anak sampai di Banyumas, Tumenggung Yudanegara II sedang berada di pendapa. Surat diterima. Kemudian setelah dibaca, mengetahui isinya, Tumenggung Yudanegara II langsung kaget, kemudian mati mendadak.
Pada saat utusan dari Keraton Kartasura sampai di Banyumas, Tumenggung Yudanegara II sudah meninggal. Namun dilaporkan pada mereka bahwa kematian sang adipati karena sakit.”
Begitulah. Pendapa Sipanji dibangun oleh Yudanegara II sebagai pusat pemerintahannya. Namun pada akhirnya juga menjadi tempat kematiannya.
Pendapa Sipanji adalah karya besar sang bupati. Sebuah monumen bersejarah sekaligus saksi sejarah pergantian kepemimpinan di Banyumas. Pada waktu didirikan, Banyumas masih menjadi bawahan Keraton Mataram Kartasura. Setelah Mataram dibagi dua dengan Perjanjian Giyanti, Banyumas menjadi bawahan Kasunanan Surakarta. Setelah Perang Diponegoro, Banyumas menjadi jajahan Belanda. Dan, Sipanji tetap menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Sipanji sebagai penanda sejarah Banyumas, kemudian turut dipindah ke Purwokerto. Berdasarkan keputusan tanggal 1 Januari 1936 Kabupaten Purwokerto dihapus oleh Belanda. Sebelumnya, dengan keputusan tanggal 31 Desember 1935 ibu kota kabupaten adalah Banyumas. Maka pada tanggal 5 Maret 1937, ibu kota dipindah dari Banyumas ke Purwokerto.
Sejak saat itu Banyumas hanya menjadi nama kabupaten, namun ibu kota sudah pindah ke Purwokerto. Bekas gedung pendapa Sipanji di Banyumas menjadi lapangan tanpa bangunan apapun di atasnya. Hanya meninggalkan sisa bekas pondasinya saja.
Sampai kemudian pada tahun 1977 dibangunlah tiruannya. Didirikan di atas pondasi lama, yang sudah menjadi puing sejak 40 tahun silam. Sejak itu Banyumas kembali mempunyai pendapa bersejarahnya, walau hanya duplikatnya saja.
Pada perayaan hari jadi Banyumas yang ke 450, tanggal 22 Pebruari 2021, pendapa duplikat Sipanji dijadikan sebagai tempat peluncuran Serial Babad Banyumas. Dengan mengundang 50 kepala sekolah di sekitar Banyumas serta membagikan buku Babad Banyumas Mertadiredjan dan Wirjaatmadjan. Sebuah langkah awal mengenalkan sejarah Banyumas melalui kisah babad.