Setahu saya, pengarang sangat menghindari pengulangan kata dalam setiap kalimat yang ditulisnya. Juga sangat menghindari pengulangan kalimat dalam paragraf yang dituliskan dalam satu alineanya.
Apalagi para pujangga, penulis tembang Jawa, para pengarang jaman dulu yang harus tunduk pada aturan lagu macapat. Taat pada guru gatra, guru wilangan dan guru lagu-nya. Patuh pada jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan akhir kalimat dengan vokal pasti.
Maka, ketika saya membaca buku salinan Tedakan Serat Babad Banyumas yang diberi judul Babad Banyumas dan menemukan pengulangan 3 baris pada bait nomor 486 dan 487, saya langung merasakan kejanggalan.
Sepertinya tidak mungkin pengulangan itu terjadi. Apalagi bukan hanya satu kalimat, melainkan sampai tiga kalimat.
Saya pun langsung penasaran, siapa yang melakukan kekeliruan itu? Apakah penyalin dari naskah Jawa ke Latin, yakni Pujamartaya dan Solechan, pada tahun 1996? Ataukah penyalin dari naskah asli ke naskah salinan, yakni Raden Natahamijaya, pada tahun 1904?
Saya kemudian menyampaikan penasaran itu pada Dokter Soedarmadji. Sosok yang saya anggap paham tentang naskah Babad Banyumas.
Kemudian, dengan ketekunannya, beliau membuka buku salinan naskah asli Tedakan Serat Babad Banyumas.
Kembali buku babad itu langsung membuat saya pusing, karena rumitnya tulisan Jawa yang begitu padat. Apalagi harus mencari satu per satu kalimat yang berjajar tanpa spasi.
Akan tetapi, berkat ketelitianya, dua bait tembang Asmarandana itu dengan cepat bisa ditemukan. Beliau kemudian membacakan perlahan.
486
“Datan kawarna ing margi, Sampun prapteng Wirasaba, Kang wadya sumuyud kabeh, Sagunging nayakanira, Marang dipati anyar, Ki dipati karsanipun, Bumi pinara sakawan”
486
“Miwah desa kanan kering, Mancapat manca lelima, Wus samya mituhu kabeh, Sagunging nayakanira, Marang dipati anyar, Ki dipati karsanipun, Bumi pinara sakawan”.
Kaget saya mendengar bacaan dari buku Tedakan Serat Babad Banyumas itu.
Dokter Soedarmadji pun kaget setelah membacanya. Kami merasakan keanehan yang sama. Tiga baris dari dua bait tersebut sama kata dan kalimatnya.
Karena masih penasaran, saya meminta pendapat orang lain Saya menemui pakar Babad Banyumas, Prof. Sugeng Priyadi. Guru besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang disertasi dan tesisnya mengangkat naskah Babad Banyumas sebagai kajiannya.
Dalam pertemuan dengannya, saya sampaikan penasaran atas dua kesalahan yang saya temukan dalam salinan Babad Banyumas. Saya bawa naskahnya, dan saya meminta ijin mengecek pada naskah Babad Banyumas koleksinya.
Profesor Sugeng Priyadi yang sudah sejak tahun 1990-an meneliti Babad Banyumas menyatakan dengan tegas, pada naskah asli Babad Banyumas tidak ada pengulangan. Baik yang naskah Serat Babad Banyumas, juga pada naskah Tedhakan Serat Babad Banyumas.
Bahkan saya ditunjukkan tesisnya yang membahas salinan babad itu. Tesis dengan judul Tedakkan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif.
Saya pun kemudian menelusuri dan menekuri buku tebal itu.
Salinan pada bait nomor 486 pada pupuh Asmarandana memang tidak ada pengulangan di sana.
“Datan kawarna ing margi, Sampun prapteng Wirasaba, Kang wadya sumuyud kabeh, Sagunging nayakanira, Tuwin kang para kadang, Sadaya samya sumungku, Jrih asih myang kumawula”.
Saya baca berulangkali salinan itu. Seolah masih menyangsikannya.
Melihat kesangsian saya, Profesor Sugeng Priyadi sampai menegaskan, “Kalau memang ada pengulangan, saya pasti sudah menemukannya dari dulu. Karena naskah itu sudah saya akrabi sejak tahun 1990. Jadi, tidak ada kesalahan pada naskah asli.”
Dengan penjelasan itu, saya akhirnya berkesimpulan, lagi-lagi kesalahan memang ada pada salinan dalam buku terbitan Pemda Banyumas.
Namun, karena yang saya baca dari tesis juga masih salinan Latinnya, saya merasa belum puas. Jalan satu-satuya adalah harus membaca sumber aslinya. Yakni buku Serat Babad Banyumas dan Tedhakan Serat Babad Banyumas yang huruf Jawa.
Akhirnya saya datang lagi menemui Dokter Soedarmadji. Saya mohon kerelaan beliau meminjamkan salinan dua babadnya untuk saya kopi. Dengan kopian itulah saya akan menelusur sendiri larik demi larik tembang Macapat dalam tulisan huruf Jawanya.
Karena gagap membaca tulisan Jawa lama, saya kemudian meminta bantuan saudara untuk membimbingnya. Beliau seorang guru SD, namun punya ketertarikan yang sama dengan saya pada budaya dan sejarah Banyumas.
Dengan ketelatenannya mencari satu bait tembang dari 617 bait yang ada, akhirnya ketemulah yang saya cari. Dan, benar seperti yang dikatakan Profesor Sugeng, dalam naskah asli memang tidak ada pengulangan.
Saya pun berulang kali membaca teks dalam huruf Jawa tersebut. Sampai saya benar-benar yakin dengan kejelasan yang saya dapatkan.
Hal ini menjadi pembelajaran untuk saya, tentang pentingnya membaca buku babad dari naskah aslinya.