Waktu itu saya mau menggelar acara pelatihan guru ngaji. Sebuah acara rutin dari Bale Cahaya, lembaga pembelajaran quran yang saya dirikan bersama Bale Pustaka. Biar tidak repot mikir menyiapkan makan, kami cari rumah makan sebagai tempat pelatihan.
Akhirnya ditentukanlah tempatnya. Sebuah rumah makan bergaya klasik kolonial, sebuah bangunan tua di belakang gedung Kabupaten Banyumas, di Purwokerto. Tempatnya kecil, namun nyaman, ruangan training muat menampung 50 orang.
Pada waktu memesan tempat, di dekat pintu masuk saya melihat sebuah rak buku. Sebagai pecinta buku, melihat ada buku di resto, saya langsung tertarik. Meski semuanya buku foto kopian. Namun bagus, karena kopian buku tentang Banyumas.
Satu per satu saya lihat. Saya pegang. Saya buka. Saya baca sekilas.
Sampai pada buku terakhir. Buku dengan cover kertas tebal warna kuning tua. Tak ada judul tertulis di sampulnya. Ketika saya buka, saya langsung terpana pada halaman pertama. Pada baris paling atas tertulis judul dengan huruf besar: BABAD BANJOEMAS.
Seperti anak kecil dapat mainan yang lama diidamkan, saya pegang lama sekali buku itu.
Saya kemudian minta ijin ke kasir untuk mengkopinya. Dengan alasan penelitan, akhirnya diperbolehkan. Namun, saya disuruh ijin juga pada owner-nya.
Sepulang acara, di rumah, saya langsung baca habis Babad Banyumas bersampul kuning itu. Cepat sekali membacanya. Persis seperti sedang membaca buku sejarah. Walaupun naskahnya menggunakan bahasa Jawa latin dengan ejaan lama, namun lancar dibaca. Beda dengan sebelumnya ketika saya membaca Babad Pasirluhur yang penuturannya berbentuk tembang.
Babad Banyumas yang saya dapatkan itu, kemudian saya ketahui sebagai Babad Banyumas Wirjaatmadjan. Disebut Babad Banyumas Wirjaatmadjan karena yang menulis adalah Raden Wirjaatmadja, patih Purwokerto. Ditulis pada tahun 1898 atas perintah Asisten Residen Purwokerto, atasan sang patih.
Kemudian saya ketahui juga bahwa kopian yang saya miliki itu aslinya adalah sebuah buku terbitan tahun 1932. Diterbitkan oleh Electrische Drukkerij TAN Poerbolinggo. Tebalnya adalah 69 halaman.
Sebetulnya karya Raden Wirjaatmadja yang asli hanya sampai halaman 39 saja. Pada akhir catatan, ia menuliskan: Serat cariyos punika sampun kula damel sigeg, boten kalajengaken. Yang artinya, “Catatan sejarah ini sudah saya selesaikan sampai di sini, tidak saya lanjutkan lagi.”
Namun, mengapa Babad Banyumas Wirjaatmadjan sampai 69 halaman?
Ternyata, setelah ditulis oleh Raden Wirjaatmadjan pada tahun 1898, selang 34 tahun kemudian, ada yang melanjutkan. Seorang pensiunan Patih Banyumas bernama Raden Poerwasoepradja.
Ia mengawali penulisannya pada tahun 1932 dengang mengoreksi beberapa kekeliruan dalam babad yang ditulis Raden Wirjaatmadja. Setelah itu ia melanjutkan penulisan yang lebih kaya informasi terkait keaadaan setelah Perang Diponegoro, ketika Wilayah Banyumas menjadi jajahan Belanda.
Pada bab akhir yang menjadi penutup babnya, Raden Wirjaatmadjan mengaku bahwa daftar para bupati yang ditulisnya, sumbernya berasal dari cerita para leluhurnya. Karena leluhur sang patih memang para bangsawan Banyumas.
“….Bupati ing salebeting Paresidenan Banyumas, ugi namung wawaton pamireng saking cariyosipun para sepuh.” Artinya: Nama para bupati yang memerintah kabupaten di wilayah kekuasaan Karesidenan Banyumas, sumbernya diambil dari apa yang didengar dari cerita para leluhur.
Maka dia meyakini kebenaran datanya , dengan mengatakan pada akhir bab, “Wondene tedak turunipun para bupati ingkang sampun kula cariyosaken ing nginggil wau sadaya, saking pamanggih kula ugi sampun leres.” Artinya: Terkait seluruh silsilah para bupati yang sudah saya ceritakan di atas, menurut pengetahuan saya sudah betul juga.
Namun begitu, ternyata masih ada kekeliruan silsilah. Kekeliruan yang kemudian dikoreksi oleh Raden Poerwasoepradja, yang melanjutkan babadnya.
Hal yang menarik dari babad lanjutan yang ditulisnya adalah kayanya informasi terkait kemajuan Banyumas pada masa penjajahan. Hal yang tidak tertulis dalam Babad Banyumas karya Raden Wirjaatmadja.
Dari babad lanjutan karya Raden Purwasoepradja, kita jadi tahu kapan pertama kali ada sepeda di Banyumas. Kapan mulai ada motor, mobil, jalan raya, rumah sakit, saluran irigasi, kereta api, jalur kereta api, lumbung desa, bank, pegadaian, sekolahan, organisasi massa, hingga pabrik-pabrik.
Dalam pengantar babadnya, Raden Poerwasoepradja memberi nama Babad Banyumas karya Raden Wirjaatmadja dengan sebutan babad baku. “Babad yayasanipun Raden Bei Patih Arya Wirjaatmadja ingkang lajeng kula nameni babad baku….” Artinya, babad karya Raden Ngabei Patih Aria Wirjaatmadja selanjutnya saya sebut sebagai babad baku.
Sepertinya pendapat itu tidak keliru, karena kemudian Babad Banyumas Wirjaatmadjan lah yang paling banyak dikenal masyarakat.