Setelah mengisahkan tentang Kadipaten Wirasaba sebagai bawahan Kesultanan Demak, Babad Banyumas kemudian melanjutkan kisah tentang Bagus Mangun.
Siapa Bagus Mangun?
Ia adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh keluarga bibinya, Nyai Mranggi. Sang bibi menikah dengan pembuat warangka keris, Kyai Mranggi. Mereka berdiam di desa Kejawar, wilayah Wirasaba.
Bagus Mangun adalah anak kakak Nyai Mranggi yang bernama Banyak Sasra. Banyak Sasra menikah dengan putri Pasir Luhur bernama Dewi Sriyati. Putri adipati Banyak Geleh atau Pangeran Senopati Mangkubumi kedua.
Setelah ditinggal mati kedua orang tuanya, Bagus Mangun yang masih anak-anak dibawa kakeknya ke rumah bibinya. Sang kakek, Raden Baribin, berpesan pada cucunya, untuk tidak ke mana-mana. Kecuali setelah remaja untuk mengabdi di Kadipaten Wirasaba.
Bagaimanakah kisah perjalanan Bagus Mangun selanjutnya? Apakah berhasil menjadi abdi dalem kadipaten?
Selengkapnya, silahkan baca tulisan terjemahan saya atas naskah “Serat Babad Banyumas Mertadiredjan” di bawah ini.
Sengaja tidak saya sertakan naskah asli dalam bahasa Jawanya. Agar pembaca lebih bisa menikmati Babad Banyumas sebagai buku bacaan.
Selamat membaca.
Dari Abdi Menjadi Menantu Adipati
Dikisahkan di Desa Kejawar pada waktu itu, Bagus Mangun sudah dewasa.
Teringat pesan dari kakeknya dulu, ketika masih berada di Pasir Luhur. Bahwa kelak diijinkan mengabdi kepada Adipati Wirasaba. Maka Bagus Mangun pun berpamitan pada sang ibu, Nyai Mranggi, tidak lupa juga kepada sang ayah, Kyai Mranggi.
Setelah diijinkan Bagus Mangun segera berangkat dengan diiringi air mata kedua orang tua angkatnya. Sangat sedih hatilah mereka. Banyak nasehat yang disampaikan. Agar selalu berhati-hati dalam setiap tingkah laku. Juga dalam pengabdiannya.
Singkat kata singkat cerita, sampailah sudah Bagus Mangun di Kadipaten Wirasaba.
Diterima niat menjadi abdi dalem kadipaten.
Waktu pun kemudian berlalu. Hingga pada suatu hari, ketika Bagus Mangun tidur di halaman pendopo, saat itu sang adipati sedang keluar dari rumahnya, kaget ketika melihat ada cahaya bersinar laksana bintang.
Dilihat dengan seksama. Cahaya itu kemudian masuk, merasuk dalam ubun-ubun salah seorang abdi dalem yang sedang tidur. Sampai kemudian cahaya itu tak terlihat lagi.
Sang adipati segera turun untuk menyelidiki lebih lanjut. Namun tidak bisa jelas terlihat, karena banyak abdi dalem yang tidur bersama.
Walau demikian, sang adipati masih awas, bisa melihat kala cahaya itu masuk. Hingga kemudian didekati salah seorang di antara mereka yang sedang lelap tertidur, lalu disobeklah kainnya.
Sang Adipati kemudian pergi kembali ke dalam kediamannya.
Ketika pagi, sang adipati bangun tidur, seluruh abdi dipanggilnya.
Semua berbaris di hadapannya. Sang Adipati berkata pada mereka, “Wahai, para abdiku semua, siapa yang merasa sobek kainnya, kalian mengaku ya.”
Pada abdi pun kemudian menjawab, “Saya tidak!”
“Saya tidak!” ucap mereka.
Tidak ada abdi dalem yang mengaku. Semua ucapannya sama, “Tapi ada teman saya, satu orang yang tidak ada di sini. Namanya Bagus Mangun. Anak dari desa Kejawar, anaknya Kyai Mranggi Kejawar.”
Segera mereka diperintahkan mencari untuk kemudian dihadapkan pada sang adipati.
Bagus Mangun dicari. Ketemulah di pinggir sungai Serayu. Lalu dibawa ke hadapan adipati. Kemudian ditanya sang adipati, namun hanya diam dan tidak berkata. Hingga dipeganglah cepat tangannya. Kemudian Bagus Mangun ditangkap. Dimasukkan dalam penjara terkunci. Sampai setengah hari lamanya
Kemudian sang adipati mendatangi. Pintu kamar terbuka. Dan ditanyalah lagi Bangus Mangun, “Hai, Mangun mengaku sajalah. Saya tanya jangan berdusta. Apakah kainmu sobek atau tidak?”
Bagus Mangun pun berterus terang, “Benar, memang sobek, tapi hanya sedikit.”
Kyai Adipati kembali berkata, “Sekarang pulanglah segera. Suruhlah ayahmu menghadap saya sekarang juga!”
Bagus Mangun pun menyembah dan pamitan.
Tidak dikisahkan perjalanannya dari Wirasaba ke Kejawar. Saat itu Kyai Mranggi tengah duduk bersama istrinya, Nyai Mranggi. Bagus Mangun datang dengan menangis tersedu.
“Ada apa denganmu, anakku? Jawablah yang sebenarnya terjadi?”
Bagus Mangun berkata pelan, “Saya sedang diutus oleh sang adipati. Karena kain saya yang sobek, kemudian saya dimasukkan penjara. Sekarang saya sudah dibebaskan, namun saya disuruh pulang. Sang adipati memerintahkan agar memanggil Ayah dan Ibu. Berangkat bersama saya!”
Nyai Mranggi menangis mendengar yang dikatakan anaknya. Bagus Mangun pun diciuminya. Nyai Mranggi menangis tersedu. Anaknya terus ditangisinya. Hatinya terasa sakit sekali.
“Bagaimana kelakuan anak saya? Kalau nanti kamu mendapat celaka, saya tidak mau ditinggalkan. Bukankah dulu sudah saya bilang? Saya tidak setuju ketika berpisah dengan saya. Karena khawatir kalau kamu celaka. Tapi kamu tetap melakukan juga.”
Bagus Mangun terdiam tanpa berkata. Hanya air mata yang terus deras alirnya.
Paginya berangkatlah mereka semua, ayah ibu dan anaknya, menghadap sang adipati.
Tidak dikisahkan perjalannanya. Yang diceritakan adalah sang adipati yang sedang dihadap para punggawa. Bagus Mangun sudah ditunggunya.
Tidak lama kemudian, datanglah Kyai Mranggi dan Nyai Mranggi duduk menghadap di paseban.
Kyai Adipati melambaikan tangannya, “Hai, Paman dan istri, duduklah kalian di sini!”
Keduanya kemudian mendekat, duduk di tengah pendapa.
Adipati berkata wibawa, “Wahai, Paman, saya minta kalian datang ke Kadipaten Wirasaba. Karena Bagus Mangun akan saya jadikan anak. Mau saya ambil menantu. Namun permintaan saya, sediakan uang sebanyak lima reyal sebagai mas kawinnya.”
Kyai Mranggi dan istrinya lega hatinya. Namun sayang, mereka tak punya uang.
Kyai Mranggi pelan menjawab, “Kalau begini saya harus bagaimana? Saya hanya orang miskin papa. Orang yang tidak punya sama sekali. Saya hanya seorang rakyat jelata. Tak punya uang untuk mas kawinnya. Namun, baiklah, saya pamit pulang. Saya akan berunding di rumah nanti. Siapa tahu bisa dengan berhutang.”
Kyai Mranggi pun kemudian pulang.
Sesampai di rumah di Kejawar seluruh keluarga besar dikumpulkan. Besar kecil semua kumpul. Semua sudah dimintai sumbangan. Ada yang menyumbang lima uang. Yang lainnya juga beriuran rata. Semua berjumlah dua puluh orang hanya mendapat uang tiga ringgit.
Orang-orang tua semua berkumpul. Hanya ada lima belas orang. Semua pun sudah menyumbang. Setiap orang membantu dua uang Hanya mendapatlah tiga puluh uang. Hingga jumlah semua adalah empat ringgit.
Kyai Kejawar murung hatinya. Hanya mendapat uang sedikit saja. Mau berusaha lain sudah tidak bisa.
Nyai Mranggi berkata pada suaminya, “Ah, ya, Kyai, saya tiba-tiba teringat. Saya punya saudara, seorang kakak laki-laki. Bernama Banyak Kumara. Di Kadipaten Kaleng tempatnya. Mari kita berkunjung ke sana. Siapa tahu masih hidup orangnya.”
Maka berjalanlah dua orang itu. Sepanjang jalan saling beriringan.