Bagus Mangun dan Keris Gajahendra dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

September 19, 2022 ·

Buku Serial Bacaan Babad Banyumas karya NasSirun PurwOkartun yang mengisahkan tentang pernikahan Raden Bagus Mangun dengan putri Adipati Wirasaba.

Setelah mengisahkan tentang Raden Bagus Mangun yang mengadi di Kadipaten Wirasaba, Serat Babad Banyumas melanjutkan dengan cerita pernikahannya.

Ternyata, Adipati Wirasaba meminta kedua orang tua angkat Bagus Mangun menghadap ke Wirasaba, adalah untuk melamar putrinya. Bagus Mangun akan diambil sebagai menantu.

Hal itu tentu saja membuat Kyai Mranggi dan istrinya, Nyai Mranggi merasa bahagia. Sebagai orang desa mendapat mertua seorang adipati.

Namun, ada kendala ketika dimintai uang mahar. Mereka adalah keluarga miskin, hanya pembuat warangka keris. Maka, bingunglah bagaimana mengumpulkan uang sebanyak yang diminta.

Akhirnya, Nyai Mranggi teringat pada saudaranya, kakaknya yang menjadi Adipati Kaleng. Pada Banyak Kumara lah, mereka meminta bantuan.

Bagaimanakah cerita selanjutnya? Apakah mereka berhasil mendapatkan uang mahar untuk Bagus Mangun?

Lalu, bagaimana dengan kisah Ki Tolih, yang ternyata berada di Kadipaten Kaleng bersama Banyak Kumara?

Selengkapnya, silahkan baca tulis terjemahan saya atas naskah “Serat Babad Banyumas Mertadiredjan” di bawah ini.

Sengaja tidak saya sertakan naskah asli dalam bahasa Jawanya. Agar pembaca lebih bisa menikmati Babad Banyumas sebagai buku bacaan.

Selamat membaca.

Keris Pusaka untuk Bagus Mangun

Ilustrasi dalam buku Serial Bacaan Babad Banyumas karya NasSirun PurwOkartun yang mengisahkan tentang Bagus Mangun yang diberi keris pusaka Kyai Gajahendra oleh Ki Tolih.

Dikisahkan waktu itu di Kadipaten Kaleng, Banyak Kumara sedang duduk dengan Kyai Tolih menjadi teman bicaranya

Nyai Mranggi datang bersama suaminya, kemudian duduk di teras pendapa.

Banyak Kumara jelas melihat, sambil berkata dalam hati, “Siapa gerangan perempuan ini? Saya seperti pernah melihatnya.”

Banyak Kumara lalu bertanya, “Kalian berdua datang dari mana?”

Kyai Mranggi menjawab, “Kami dari Kejawar.”

Banyak Kumara kaget mendengarnya. Dengan cepat segera mendekatinya. Lalu dipeluklah sang adik perempuan. Kemudian diajak duduk bersamanya.

“Tidak disangka dan tidak bermimpi, kamu bertemu lagi dengan saya. Apakah maksud kalian kok mendadak datang, adikku?”

Nyai Mranggi berkata dengan bersedih hati, “Wahai kakakku, saya ini punya anak laki-laki hanya satu. Mau diambil oleh Kadipaten Wirasaba. Mau dijadikan menantu sang adipati. Lima reyal yang menjadi maharnya. Tapi saya ini tidak punya uang barang sedikit pun. Kalau dibolehkan, saya minta padamu.”

Banyak Kumara lega hatinya.

Setelah semuanya dipersilahkan duduk, jamuan makan disediakan. Semua kemudian makan bersama. Empat orang makan bersama menikmati sajian Banyak Kumara.

Kyai Tolih bertanya, “Siapa mereka ini?”

Banyak Kumara menjawab, “Ini adik saya. Sekarang tinggal di desa Kejawar. Namun tidak mempunyai anak. Dulu, kakak saya Banyak Sasra, ketika meninggal meninggalkan dua anak. Adik saya ini mengasuh salah satu anaknya. Diangkat anak. Sekarang sudah dewasa mau diminta oleh adipati, mau dijadikan menantu, tapi adik saya ini tidak punya apa-apa.”

Banyak Kumara bahagia sekali. Sambil tersenyum dia berkata lagi, “Wahai adikku, janganlah bimbang. Kalau hanya masalah uang, adikku, seratus pun akan saya beri. Uang ringgit putih sudah siap di depanmu.”

Banyak Kumara memberikan bantuan uangnya, “Inilah adikku Mranggi. Seratus ringgit ini berikan pada sang adipati.

Dalam hati Kyai Tolih berkata, “Kalau Kyai kejawar tukang membuat warangka keris saya ingin memberi bungkus keris saya.”

Kemudian Kyai Tolih berkata pada Kyai Mranggi, “Adik, saya punya keris. Bisakah minta dibuatkan warangkanya?”

Ki Kejawar pelan menjawab, “Saya tidak membawa peralatan. Coba saya lihat lebih dulu. Nanti di rumah saya buatkan.”

Kyai Tolih pelan berkata, “Memang lebih baik dibawa pulang saja.”

Kyai Mranggi kembali berkata, “Bolehkah saya melihat dulu bentuk kerisnya?”

Keris pun kemudian diterima. Kyai Mranggi lalu pamit pulang.

Di jalan tidak dikisahkan ceritanya. Hingga sampailah mereka di Kejawar. Kemudian lanjut berjalan ke Wirasaba.

Semua yang dipunya dibawanya. Tak diceritakan kisah perjalannya.

Dikisahkan di Kadipaten Wirasaba, sang adipati sudah menyiapkan segalanya. Sudah bersiap akan melaksanakan hajatan. Seluruh persiapan mengambil menantu. Saat itu Kyai Mranggi sudah sampai disambut dan diminta menghadap.

Dan setelah duduk, Kyai Mranggi kemudian berkata, “Hamba membawa ringgit putih seratus jumlahnya. Untuk sumbangan belanja.”

Sang adipati terlihat heran, “Saya tidak mengira tidak bermimpi, kalau si Paman akan bisa menyanggupi…”

Seluruh rakyat Kadipaten Wirasaba, besar kecil, semua menjadi saksi. Pemberian dari Kyai Mranggi Kejawar, uang sejumlah seratus ringgit putih.

Tidak diduga tidak disangka, Bagus Mangun punya banyak uang.

Kyai Mranggi kemudian duduk di depan. Bagus Mangun sudah siap di pelaminan.

Setelah menikah, sore harinya digelar pawai.

Dikisahkan sang pengantin sudah hidup bahagia. Rukun dan damai perkawinannya. Laki dan perempuan saling jatuh cinta. Sang adipati semakin sayang pada mereka. Kyai Mranggi juga istrinya. Semua bersyukur atas anugerah Yang Kuasa

Setelah selesai upacara pernikahan, Kyai Mranggi berpamitan pulang. Berpamitan kepada sang adipati dan anak laki-lakinya. Keduanya sudah direlakan. Juga sudah disampaikan nasehat kepada anak laki-lakinya, karena kekhawatiran hatinya, sebab mendapat istri yang bukan bandingannya.

Singkat cerita, Kyai Mranggi berdua kemudian pulang.

Sesampainya di desa Kejawar, warangka keris untuk Ki Tolih sudah jadi.

Ketika sedang menyelesaikan, waktu itu bersamaan dengan kedatangan rakyat Wirasaba yang mengiringkan kedatangan anaknya.

Saat itu ramai sekali. Banyak orang yang melihat kedatangan sang pengantin berdua.

Kyai Mranggi dan istrinya sangat berbahagia hatinya. Melihat kedatangan sang anak, mereka kemudian bersujud. Bahkan sangat menghormat Kyai Mranggi kepada menantunya. Memiliki menantu bangsawan.

Seluruh rakyat di Kejawar semua berkumpul laki dan perempuan datang menghadap. Banyak yang disampaikan. Juga yang memberikan sumbangan. Laki dan perempuan bergiliran.

Dikisahkan pada suatu hari, sang anak melihat ayahnya tengah memasukkan keris. Segera ia mendekat ke hadapannya, sambil berkata bahwa ia ingin melihat keris yang sedang dimasukkan.

Sang ayah pun memberikan keris di tangannya.

Setelah sang anak tahu, seketika sukalah pada keris ayahnya. Kemudian bertanya, “Milik siapakah keris ini?”

Sang ayah menjawab, “Milik saudara kita. Kyai Tolih namanya. Seorang pengelana yang sekarang berada di Kadipaten Kaleng menjadi sahabat pakdhemu, Adipati Banyak Kumara. Menurut dugaan saya sangat mungkin dia sekarang akan segera datang mengambil keris ini. Karena dulu dia berniat mengambil sendiri sekalian berkunjung menengok saya.”

Namun sang anak, Bagus Mangun, malah berkata, “Kalau boleh saya pinjam saja. Saya ingin memakai keris jenis ini.”

Sayang ayah memberikan saja.

Sementara dikisahkan Kyai Tolih dari Kadipaten Kaleng sudah berangkat. Berniat hendak mengambil kerisnya. Dua malam dalam perjalanan. Hingga sampailah sudah di desa Kejawar, rumah yang ditujunya.

Kyai Ageng Mranggi merasa senang sekali. Segera menyambut saudaranya yang baru datang. Dijamu dengan penuh penghormatan. Segala disuguhkan padanya sebagai tanda berbagi bahagia.

Kyai Tolih bertanya, “Wahai adikku, bagaimanakah kamu membuatkan tempat keris saya, apakah sekarang sudah jadi?”

Kyai Mranggi menjawa, “Sudah, Kakak, kebetulan sudah jadi. Namun jelek bentuknya, soalnya buatan orang desa. Tidak bisa membuat yang halus. Hanya sekadar lumayan saja. Apakah nanti Kakak bangga? Apakah akan berkenan nantinya?

Hanya asal-asalan saja. Asal memenuhi kebutuhan. Tak lain hanya saya minta maaf pada Kakanda.”

Kyai Mranggi kemudian memanggil anaknya, Bagus Mangun, “Hai, anakku, kemarilah segara. Keris akan saya berikan pada yang punya. Inilah Kakak saya yang memilikinya.”

Sang anak kemudian mendekat sambil memberikan keris.

Kyai Tolih memperhatikan sosok sang pengantin. Terasa kagum dan tergetar hatinya.

“Inikah gerangan anak dari Kyai Mranggi yang diambil menantu oleh sang Adipati Wirasaba? Sepertinya memang masih pengantin baru. Tidaklah salah sang adipati

mengambil menantu anak ini. Memang punya pertanda akan mempunyai kekuasaan.”

Mendadak muncul rasa kasih sayang Kyai Tolih pada sang pengantin.

Pelan ia kemudian berkata, “Wahai, Adik, apakah ini anakmu yang diambil menantu oleh sang adipati?”

“Benar, Kakak,” jawab Kyai Mranggi. “Tapi bodohnya bukan main. Dasar anak desa, tidak tahu tata krama. Karenanya ia mengabdi menjadi pelayan sang adipati. Maka tidak mengira sedikitpun mendapat kasih dari sang adipati. Itu berkat berkahmu, Kyai. Menjadi kebahagiaan anakmu.”

Kata Kyai Tolih kemudian berkata, “Bolehkah saya turut menganggapnya anak? Karena saya juga tidak punya anak.”

Kyai Mranggi bahagia sekali. Mempersilahkannya dengan suka rela, “Kakak, silahkan diambil juga. Saya rela lahir dan batin. Kita sama-sama tidak punya anak.”

“Bahagia hingga dalam hati,” jawab Kyai Tolih. “Banyak terima kasih saya. Tapi Adik, saya hanya menganggap saja. Karena tidak beruntungnya saya. Saya tidak bisa membalas budi baik ini.”

Kyai Mranggi segera meyuruh anaknya untuk bersujud pada Kyai Tolih.

Katanya, “Itu juga ayahmu. Sudah menjadi keberuntunganmu, anakku. Mempunyai ayah yang utama.”

Sang istri disuruhnya keluar juga. Untuk sama-sama bersujud menghormat.

Kyai Tolih sangat bahagia. Dalam hati ia merasa sangat terharu. Kyai Mranggi menyerahkan anaknya secara lahir dan batinnya.

Kyai Tolih kemudian berkata,  “Kalau mau, kalau kamu sudi, kamu anggaplah saya ayah. Ayah yang orang papa pengelana tidak punya pekerjaan apapun. Juga tak punya harta benda apapun. Juga tidak bisa memberi nasihat yang baik. Peribahasanya begitu, anakku. Saya orang tua yang hanya banyak umur saja.”

Sang anak menyimak penuh seksama. Menundukkan hati rendah sekali.

Katanya, “Terima kasih banyak, saya jadikan pedoman. Jika mendengar kata-katamu, sangatlah sayangmu itu

Kyai Tolih berkata pada Kyai Kejawar, “Adikku, saksikanlah ini. Bahwa keris saya ini saya wasiatkan saja kepada anakmu ini,  juga anakku, sang pengantin. Jadikanlah jimat untuk keturunannya. Adapun keris ini namanya Gajahendra. Namun hanya bilahnya saja yang saya berikan pada anakku ini. Tempatnya, adikku, kalau boleh saya minta. Mau saya bawa pulang kembali ke Kadipaten Kaleng, akan saya serahkan pada Adipati Kaleng.”

Bagus Mangun dimintanya mendekat.

“Ini, terimalah, anakku, Keris Kyai Gajahendra. Memang sudah keberuntunganmu, kamu yang dapat memiliki keris ini. Hanya, hati-hati, anakku, ingat selalu pesanku ini. Keris Gajahendra ini kelak, selama tujuh turunan jangan dibawa berperang. Memang sudah takhir Yang Kuasa, keturunanmu kelak nantinya akan menguasai wilayah yang luas.”

Begitulah pesan Kyai Tolih. Setelah menyampaikan pesannya kemudian pamitan dari Kejawar. Akan kembali ke Kadipaten Kaleng dengan membawa tempat kerisnya.

Sesampainya di Kadipaten Kaleng, ketemulah dengan sang adipati Banyak Kumara. 

Kemudian saling bersalamanlah  kedua orang itu,

Kyai Tolih kemudian berkata, “Kyai Adipati, saya akan pamit. Selamat tinggal. Saya akan pergi berkelana lagi mengikuti ke mana kata hati mencari jalan kematian.”

Sang adipati kaget mendengarnya, lalu menjawab, “Kalau bisa jangan pergi lagi. Selamanya saja di sini. Sampai tua kelak. Menjadi tokoh yang dihormati oleh seluruh rakyat Kadipaten Kaleng.”

Kyai Tolih berkata, “Terima kasih tawarannya. Tetapi memang sudah tidak bisa. Karena semua ini sudah kehendak Yang Kuasa. Keberadaan saya memang jadi seorang pengelana. Ini saya tinggalkan wasiat berupa tempat keris. Terimalah, Kyai Adipati. Semoga bisa menjadi pusaka untuk keturunanmu kelak. Biar seolah saya tunggui setelah saya tak ada.”

Sang adipati pun kemudian menerimanya. Hingga legalah hatin Ki Tolih.

Lelaki tua itu kemudian pamitan dan berjabatan tangan. Kemudian berangkat.

Betapa sedih sang adipati, membayangkan perjalanan keluar masuk hutan, kemudian sampai di laut selatan. Ke arah barat menyusuri pesisir pantai. Jurang dan lereng dilaluinya. Banyak goa yang dimasukinya. Kyai Tolih berjalan tak kenal lelah dan bahaya. Selalu berdoa sepanjang jalan.

Hingga sampailah waktu itu di Ngayah. Kemudian lanjut ke Donan. Ke arah barat menyeberang sungai hingga sampai di Nusa Brambang.

Cukup lama ia berdiam di situ. Kemudian menyeberang ke arah utara. Tidak dikisahkan perjalanannya. Kemudian diceritakan ia sampai di Cikakak.  Di sebuah lereng gunung.

Di Cikakak lah kemudian yang menjadi tempat tinggalnya untuk bertapa dengan tekunnya. Dengan mematikan hawa nafsunya. Hingga diterima oleh Sang Maha Kuasa. Hingga besarlah keramatnya. Dengan tetap menjadi soerang yang beriman.

Dikisahkan kemudian Kyai Tolih Merasa bahagia dalam hatinya.

Kategori:Mertadiredjan
SEUWISE

Kematian Tragis Adipati Wirasaba dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

Setelah mengisahkan tentang pernikahan Raden Bagus Mangun, Babad Banyumas kemudian menceritakan tentang mertuanya, Adipati Warga Utama.  Dikisahkan pada waktu itu, Sultan Pajang Joko Tingkir meminta pada adipati bawahannya untuk mengirimkan gadis-gadisnya. Dan, Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya. Namun, hal itu…
WACA
SEDURUNGE

Bagus Mangun Menjadi Abdi Dalem Wirasaba dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

Setelah mengisahkan tentang Kadipaten Wirasaba sebagai bawahan Kesultanan Demak, Babad Banyumas kemudian melanjutkan kisah tentang Bagus Mangun. Siapa Bagus Mangun? Ia adalah anak yatim piatu yang diasuh oleh keluarga bibinya, Nyai Mranggi. Sang bibi menikah dengan pembuat warangka keris, Kyai…
WACA
LIYANE

Kasepuhan Kanoman

Awalnya, buku ini ditulis dan dirancang sebagai paket lanjutan bagi para pembaca Babad Banyumas. Agar yang sudah membaca babadnya mendapat wawasan baru dari kisah yang sudah dibacanya. Namun, setelah jadi, ternyata bisa juga dibaca oleh mereka yang belum membaca Babad…
WACA
LIYANE

Pohon Tembaga dalam Plesiran Babad Banyumas

Petunjuk utama adalah pohon Tembaga. Petunjuk tentang tempat di mana Adipati Mrapat harus mendirikan ibu kota Kabupaten Banyumas. “Yen sirarsa widada, ing kawibawanireku, amengkoni Wirasaba, sira ngaliha nagari, saking bumi Wirasaba, sira manggona ing kulon, ing tanah bumi Kejawar, prenah…
WACA
LIYANE

Ketampanan Raden Kaduhu dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

Setelah mengisahkan tentang kesaktian Raden Katuhu, “Serat Babad Banyumas” kemudian menceritakan tentang ketampanannya. Kabar bahwa Adipati Wirasaba telah mengangkat anak menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Semua rakyat membicarakannya. Terutama tentang ketampanannya. Ketampanan yang membuat semua perempuan terpesona. Dikisahkan, bukan hanya…
WACA
LIYANE

Yang Menarik dari Babad Banyumas Wirjaatmadjan

Seperti melanjutkan “Babad Banyumas Mertadiredjan”, buku “Babad Banyumas Wirjaatmadjan” lebih banyak mengisahkan sejarah Banyumas pada jaman penjajahan Kolonial Belanda dan Inggris. Selain menceritakan Kabupaten Banyumas juga menuturkan peristiwa yang terjadi di seluruh Karesidenan Banyumas, yakni Kabupaten Purwokerto, Sokaraja, Purbalingga, Banjarnegara,…
WACA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Babad Banyumas - Rujukan Utama Sejarah Banyumas.