Bahagia saya tidak terkira. Babad Banyumas sudah punya dua naskahnya. Walau hanya kopiannya saja. Meski hanya edisi latin Jawanya saja, bukan yang edisi asli yang huruf Jawa.
Saya merasa bangga mendapat buku Babad Banyumas salinan, ‘Tedakan Serat Babad Banyumas Natahamijaya’. Nasakah salinan dari buku ‘Serat Babad Banyumas Mertadiredjan’. Dulunya disalin oleh Raden Natahamijaya, Carik Jaksa Magetan, yang kemudian dilatinkan.
Konon, naskah ‘Serat Babad Banyumas Mertadiredjan’ adalah satu-satunya naskah Babad Banyumas yang memuat silsilah sejarah kiri. Silsilah sejak dari Nabi Adam sampai leluhur Banyumas. Naskah Babad Banyumas lain tidak sedetil itu dalam mengisahkan mitos dan asal mula keberadaan leluhurnya.
Hanya sayangnya, karena yang saya miliki adalah naskah kopian, saya menemukan beberapa kesalahan. Ada dua kekeliruan penulisan yang membuat saya bertanya-tanya penasaran.
Kekeliruan yang pertama ada pada bait 140 dalam pupuh Kinanti. Tembang Kinanti yang seharusnya terdiri 6 baris hanya tertulis 5 baris. Baris terakhir tidak tertulis.
Kekeliruan yang kedua ada pada bait nomor 485 dan 486 dalam pupuh Asmarandana. Dalam dua bait itu terdapat pengulangan 3 baris lagu yang sama persis kalimatnya.
Saya merasa janggal dengan dua kekeliruan tersebut. Namun, karena naskah yang saya miliki hanya itu saja, saya tidak bisa mengeceknya. Tidak ada pembanding lainnya.
Saya berusaha mencari di online, siapa tahu ada naskah Babad Banyumas yang bisa diunduh. Ternyata, tidak menemukannya.
Saya pun penasaran sekali.
Naskah kopian saya adalah salinan latin dari naskah ‘Tedakan Serat Babad Banyumas’, maka siapa yang telah melakukan kekeliruan itu?
Apakah yang melatinkan dari naskah ‘Tedakan Serat Babad Banyumas’, yakni Pudja Martaya dan Solechan?
Atau yang menyalin dari ‘Serat Babad Banyumas Mertadiredjan’, yakni Raden Natahamijaya?
Lama saya mencari, kira-kira kepada siapa saya bisa bertanya tentang dua kesalahan itu?
Semua teman penulis sudah saya datangi. Namun, mereka tidak bisa memberikan jawaban. Bagaimana bisa menjawab, pernah buka Babad Banyumas saja belum. Bahkan memilikinya juga tidak.
Sampai kemudian saya teringat pada nama besar, sosok kolektor babad terkemuka di Banyumas. Orang yang sangat paham silsilah Banyumas. Bahkan disebut sebagai kuncen-nya sejarah Banyumas. Beliau dikenal punya banyak sumber terkait sejarah Banyumas, baik yang berbahasa Jawa maupun Belanda.
Dokter Soedarmadji!
Saya sudah lama mendengar nama besar itu. Namun entah mengapa, saya belum berani datang bertemu langsung. Karena dari yang saya dengar, semua yang datang padanya adalah para peneliti. Baik tingkat nasional maupun internasional.
Nah, saya minder kalau soal akademisi begitu. Karena penelitian saya hanya berdasar pada kecintaan dan penasaran saja.
Namun, karena lama saya tidak menemukan sosok lain, saya menyerah.
Saya merasa tidak ada sumber lain yang bisa dijadikan jalan penerang penasaran kesalahan. Akhirnya saya beranikan datang bertamu ke rumahnya.
Agak takut-takut untuk sekadar mengetuk pintu rumahnya yang khas tinggi bergaya kolonial. Keminderan saya sebagai orang desa, anak dari orang tua yang buta huruf, mendadak membuat jari saya kaku untuk mengetuk.
Mental rakyat jelata saya mendadak hinggap, karena memandang beliau adalah trah bangsawan Banyumas.
Namun, karena butuh, saya beranikan diri. Saya ketuk pintu dan memencet bel tuanya. Agak lama pintu dibuka. Hal yang makin membuat saya deg-degan lebih kencang.
Sampai kemudian pintu dibuka. Pembantunya yang menerima. Saya dipersilahkan masuk. Kemudian ditanya namanya.
Sungguh tidak menyangka sambutannya sangat luar biasa. Begitu saya memperkenalkan diri, menyebut nama, Dokter Soedarmadji langsung menyahut dengan menyebut desa saya.
“Nassirun, Mandirancan?” katanya.
Saya kaget.
Kok bisa tahu nama saya? Kok bisa tahu nama desa saya?
Saya pun akhirnya bertemu dengan Dokter Soedarmadji. Seorang yang oleh penulis buku “Raden Aria Wirjaatmadja Perintis Bank Pribumi”, Iip D. Yahya, disebut sebagai “kuncen” sejarah Banyumas. Sosok yang sejak tahun 1950-an sudah mengumpulkan banyak sumber naskah terkait sejarah Banyumas. Termasuk kolektor naskah Babad Banyumas.
Setelah ngobrol ke sana ke mari, yang kadang melenceng jauh dari bahasan, akhirnya sampailah pada persoalan yang saya bawa mengapa ingin bertemu dengannya.
Bahwa saya menemukan kesalahan pada buku salinan ‘Tedhakan Serat Babad Banyumas’ edisi latin Jawa. Saya ingin tahu siapa yang melakukan kekeliruan itu, dan seperti apa naskah yang benar.
Karena menurut saya, solusinya tidak ada lain kecuali melihat naskah asli ‘Tedakan Serat Babad Banyumas’ salinan Raden Natahamijaya. Bahkan kalau bisa melihat buku asli ‘Serat Babad Banyumas’ yang milik Adipati Mertadiredja I.
Sungguh luar biasa koleksi beliau. Dua buku babon itu semuanya dimilikinya!
Hanya masalahnya adalah ketika harus mencarinya. Karena beliau sakit jantung dan setiap bulan butuh obat, konon 11 lemari yang sekian lama menyimpan arsip, terpaksa dijual untuk menebus obat. Akhirnya, buku-buku yang tidak punya tempat lagi kemudian disimpan dalam dua kamar, ditumpuk begitu saja.
Walau sudah 84 tahun usianya (waktu itu, tahun 2019, kalau sekarang, tahun 2022, genap 87 tahun), namun ingatannya masih tajam. Beliau masih ingat di mana dulu menaruh buku-buku Babad Banyumas koleksinya itu. Buku yang sekarang terserak dan tertumpuk di atas lantai tegel tua yang lembab dan penuh sesak. Saking penuhnya, sekadar jalan untuk menggeser tumpukan buku pun sulit bergerak.
Akhirnya, besok harinya saya datang lagi ke rumahnya. Saya membawa tukang, tenaga untuk menggeser, mengangkat, dan mengangkut tumpukan buku-buku itu.
Setelah lama mencari berdasar ingatannya, yang kadang tepat kadang meleset, akhirnya ditemukanlah kedua buku itu.
Sungguh, saya beruntung bertemu dengannya. Sosok besar sejarah Banyumas yang sangat terbuka menerima saya, orang yang baru dikenalnya. Bahkan diijinkan masuk ke kamar bukunya yang penuh dengan arsip sejarah berbahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Belanda.
Setelah sepasang buku babad itu ketemu, ‘Serat Babad Banyumas’ dan “Tedhakan Serat Babad Banyumas’, saya pun menunjukkan kesalahan yang saya maksudkan.
Pada bait ke 140, Tembang Kinanti, yang seharusnya 6 baris, hanya tertulis 5 baris. Artinya baris terakhir yang guru wilangan-nya berjumlah 8 suku kata, dan guru lagu dengan akhiran vocal i, tidak tertulis.
Maka, beliau langsung membuka buku ‘Tedhakan Serat Babad Banyumas’ yang bertuliskan Jawa salinan Raden Natahamijaya.
Sambil menunggu dan melihatnya membuka lembarnya, saya penasaran, seperti apakah yang sebenarnya yang tertulis dalam karya yang ditulis pada April 1904 itu.
Ternyata repot juga mencari bait tembang yang saya sebutkan itu.
Dalam buku yang saya miliki sudah berbentuk bait-bait, hingga mudah menemukan bait yang dicari, apalagi karena sudah diberi penomoran. Namun pada babad aslinya, walaupun tulisannya dalam tembang berbentuk bait, ternyata ditulisnya tetap mendatar seperti prosa, hanya saja tanpa paragraf.
Ternyata begitulah kaidah penulisan Jawa untuk Babad yang menggunakan tembang macapat.
Cukup lama waktu untuk mencari bait tembang yang saya maksudkan.
Jalan mudah yang kemudian ditempuh adalah mencari kalimat pertama dalam bait tersebut. Kalimatnya adalah “sang bagus sigra malebu”. Ini kisah tentang masuknya Raden Katuhu ketika berada istana, menghadap Raja Majapahit.
Dengan bekal kalimat pertama itulah, dicari tembang Kinanti yang awalannya adalah ‘sang bagus sigra amlebu’.
Dengan penuh ketelitian, dengan waktu yang cukup lama, akhirnya ditemukanlah tembang yang saya cari.
Ternyata memang penyalinnya yang kurang teliti. Hingga tidak menuliskan bait terakhir yang berbunyi “nora malebeng nagari”.
Seharusnya, bait lengkapnya, yang 6 haris, adalah begini:
“Sang bagus sigra malebu, Prapteng ngarsa sri bupati, Manembah sumungkem pada, Sang nata ngandika aris, Dene si kaki Paguwan, Nora malebeng nagari”.
Petikan tembang ini adalah adegan ketika Raja Majapahit bertanya, mengapa Adipati Paguwan tidak datang sendiri ke Majapahit. Hanya mengirimkan utusannya saja, yakni Raden Katuhu, yang mengaku sebagai anaknya. Padahal sang raja tahu, Adipati Paguwan hanya mempunyai seorang anak perempuan. Tidak punya anak laki-laki.
Kemudian Raden Katuhu menjelaskan siapa dirinya. Bahwa dia adalah anak angkat Adipati Paguwan, yang sudah menjadi menantu.
Raja Majapahit bertanya lagi tentang jati diri Raden Katuhu. Jawaban yang membuat sang raja kaget dibuatnya. Karena Raden Katuhu mengaku sebagai anak Raden Baribin. Padahal, Raden Baribin tidak lain adalah adik kandung sang raja sendiri.
Maka, setelah saya menemukan bait yang hilang itu, saya merasa tenang. Ternyata memang penyalinnya yang teledor. Penyalin dari buku “Babad Banyumas” terbitan Pemda Kabupaten Banyumas, yang kopiannya saya miliki.