Banyak orang yang bertanya, “Namanya Kabupaten Banyumas tetapi mengapa pusat pemerintahannya di Purwokerto?”
Sepertinya masih banyak orang Banyumas yang belum tahu bahwa dulu ada dua kabupaten, Banyumas dan Purwokerto, yang kemudian bergabung menjadi satu.
Babad Banyumas Wirjaatmadjan sudah memberitahu tentang hal itu.
Bahwa sejak Belanda menjajah Banyumas pada tahun 1831, wilayah Banyumas dipecah menjadi 4 kabupaten. Terbentuklah Kabupaten Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Banjarnegara, dan Majenang.
Namun, Kabupaten Ajibarang hanya berumur 1,5 tahun saja. Karena bencana angin ribut melanda selama 40 hari lamanya.
Akhirnya, setelah bencana reda, Adipati Mertadiredja II berkeinginan memindah pusat pemerintahannya. Sang adipati telah memilih tempat yang lebih aman untuk memimpinnya. Keinginan tersebut disetujui oleh Asisten Residen Banyumas, Varkevisser.
Akhirnya dipindahlah Kabupaten Ajibarang ke desa Pawuwon, yang masuk wilayah Purwokerto. Sejak saat itu sebutan Kabupaten Ajibarang berganti menjadi Kabupaten Purwokerto.
Hari kepindahan dari Ajibarang ke Purwokerto tercatat pada tanggal 6 Oktober 1832. Maka, hari itu menjadi hari lahir Kabupaten Purwokerto.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, Belanda merasa berat membiayai dua kabupaten, hingga dilakukanlah penghapusan dan penggabungan. Kabupaten yang dihapus adalah Purwokerto, digabung dengan Banyumas.
Nama Banyumas tetap dipakai sebagai nama kabupaten karena lebih memiliki sejarah yang panjang dibanding Purwokerto. Namun pusat pemerintahannya dipindah ke Purwokerto, karena merupakan kota yang sedang berkembang dan lebih ramai.
Maka, demikianlah, penggabungan itu terjadi pada tanggal 1 Januari 1936.
Sepertinya catatan sejarah itu sudah mulai dilupakan orang. Seperti naskah Babad Banyumas yang juga dilupakan, demikian juga dengan naskah Babad Pasirluhur.
Karena itulah, NasSirun PurwOkartun, budayawan Banyumas, mencoba mengingatkan kembali pada masyarakat luas.
Pada hari jadi Kabupaten Banyumas, 22 Pebruari 2022 silam, penulis yang juga kartunis itu telah menerbitkan Serial Babad Banyumas untuk merayakannya. Sekarang, pada tanggal 9 Oktober 2022 akan digelar peluncuran Serial Babad Pasirluhur untuk mengingatkan kembali tentang hari jadi Kabupaten Purwokerto yang jatuh pada tanggal 6 Oktober.
Menurut Kang Nass, begitu NasSirun PurwOkartun sering disapa, dari naskah Babad Pasirluhurlah kita menjadi tahu awal mula kota Purwokerto.
Babad itu mencatat sejarah Purwokerto yang ternyata bermula dari Pasirluhur.
Pada masa Pasirluhur dipimpin oleh Adipati Banyak Geleh atau Pangeran Senopati Mangkubumi II, ibu kotanya dipindah dan diganti namanya menjadi Pasirbatang.
Kemudian, pada masa Pasirbatang dipimpin oleh Ngabehi Natawijaya, ibu kotanya dipindah lagi dan diganti namanya menjadi Pasir Kertawibawa.
Berikutnya, pada masa Pasir Kertawibawa dipimpin oleh Ngabehi Cakrawedana, ibu kotanya dipindah kembali dan diganti namanya menjadi Purwakerta.
Tahun penamaan kota baru itu dicatat dalam Babad Pasirluhur. Diberi tanda dengan candrasengkala yang berbunyi “Karti Candra Swara Nabi” yang berarti terjadi pada tahun 1714 Jawa atau 1787 Masehi.
Maka tahun 1787 itulah hari lahir kota Purwokerto, yang dulunya bernama Purwakerta.
Penamaan kota baru dengan nama Purwakerta merupakan gabungan dari kata ‘purwa’ dan ‘kerta’. Kata ‘kerta’ diambil dari nama Pasir Kerta-wibawa. Sedangkan nama ‘purwa’ diambil dari nama kerajaan jaman dulu kala yang pernah ada di Purwokerto, yaitu Kerajaan Purwacarita.
Dikutip dari naskah Latin Jawa yang diterjemahkan NasSirun PurwOkartun, yaitu naskah “Babad Pasirluhur” karya Noer Said terdapat lampiran yang berjudul “Asal Muasal Kota Purwokerto.”
Lampiran itu ditulis berdasar artikel dari majalah berbahasa Jawa “Sabda Palon” nomor 11 tahun 7 Sura Ehe atau 1 Juli 1980, dari halaman 14 – 16.
Kutipan tersebut berisi keterangan tentang pergantian nama dari Pasirluhur, ke Pasirbatang, lalu Pasir Kertawibawa, sampai penamaan Purwokerto.
Kemudian, di manakah letak Kerajaan Purwacarita tersebut?
Menurut J.J. Schuitemaker, Direktur Kweekschool Probolinggo, Jawa Timur, pada tahun 1852, menulis bahwa letak Kerajaan Purwacarita berada di daerah tepian sungai Serayu.
Dalam cerita turun temurun dikisahkan bahwa Kerajaan Purwacarita dipimpin oleh Prabu Sandiwabaa. Suatu ketika Kerajaan Purwacarita diserang oleh Prabu Jatiswara. Prabu Sandiwahana meninggal bersama istrinya, meninggalkan satu orang anak berusia 4 tahun yang bernama Raden Kulalata.
Oleh Raja Purwacarita yang baru, Prabu Jatiswara, anak itu disuruh diasuh oleh patihnya yang bernama Patih Ekawana. Namun pesannya, kelak bila Raden Kulalata dewasa tidak boleh menjadi raja, melainkan diperintahkan untuk menjadi seorang maharesi.
Setelah dewasa, Raden Kulalata kemudian dikenal sebagai Maharesi Kulalata. Dari kata ‘Maharesi’ kemudian beralih menjadi ‘Maharsi’, hingga akhirnya menjadi ‘Mresi’. Tempat kediamannya sampai sekarang masih dikenal dengan nama Mersi, yang berada di sebelah timur kota Purwokerto.
Ketika Prabu Kandadaha menjadi Adipati Pasirluhur, Mersi merupakan kadipaten yang dipimpin oleh Adipati Agung Endrakusuma. Pada waktu itu wilayah Mresi sangat luas. Ke utara sepanjang Kali Pelus meliputi desa Mresi, Kejawar, Arcawinangun, dan Karangwangkal.
Di wilayah bekas Kadipaten Mresi yang dulunya adalah Kerajaan Purwacarita konon banyak ditemukan arca-arca dan bekas candi.
Maka, dari nama bekas kerajaan Purwacarita dan Pasir Kertawibawa lah, nama Purwakerta bermula. Lama kelamaan, perubahan ucapan terjadi, dari kota bernam Purwakerta kemudian menjadi Purwokerto.
Dan, di kota Purwokerto lah, Kabupaten Banyumas memindah pusat pemerintahannya pada masa Bupati Sujiman Gandasubrata.
Sejarah panjang itulah yang akan dikenalkan kembali oleh NasSirun PurwOkartun dalam peluncuran bukunya ke 122. Buku terjemah “Babad Pasirluhur” yang diniatkan menjadi kado bagi kota Purwokerto. []