Saya menulis novel panjang Penangsang bermula dari kenangan masa kecil. Ketika kelas 4 SD setiap malam melihat pentas ketoprak tobong di desa saya.
Dari panggung ketoprak itulah saya mengenal sosok Penangsang, berikut kisah yang membelitnya, terutama perseteruannya dengan Joko Tingkir.
Tidak disangka, penasaran yang dibawa dari masa kecil itu kemudian melahirkan novel sepanjang lima jilid. Lima novel setebal bantal, karena setiap jilidnya 600-800 halaman. Bahkan tidak terasa juga, ternyata proses mencari jawaban atas penasaran masa kecil itu juga memakan waktu yang cukup lama, hampir 20 tahun.
Sejak 2001 saya sudah mengumpulkan bahan untuk novel saya. Namun baru mulai ditulis pada akhir 2008.
Kemudian, untuk terbit membutuhkan waktu juga. Buku pertama “Tembang Rindu Dendam” terbit tahun 2010. Buku kedua “Kidung Takhta Asmara” terbit tahun 2011. Buku ketiga “Tarian Rembulan Luka” terbit tahun 2013. Buku keempat “Lukisan Sembilan Cahaya” terbit tahun 2015. Dan buku kelima “Sabda Kasih Sayang” terbit tahun 2019.
Maka, bila dihitung sejak 2001 ketika pertama mengumpulkan bahan, sampai tahun 2019 ketika novel terakhir terbit, saya membersamai Penangsang 18 tahun lamanya.
Sekarang pun ternyata sama. Saya sudah berburu Babad Banyumas selama 5 tahun. Sejak saya tahun 2014 sampai tahun 2019.
Saya selalu teringat adegan kisah tragis Sabtu Pahing yang saya tonton dari panggung ketoprak tobong. Kisah tentang Adipati Wirasaba, Warga Utama I, yang dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Pajang, Joko Tingkir.
Hukuman mati yang kemudian dibatalkan kembali, setelah menyadari keputusannya yang salah. Namun, sang utusan sudah terlanjur membunuh sang adipati, sebelum utusan pembatalan mencegahnya.
Penangsang, dalam panggung ketoprak, digambarkan terbunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Adipati Wirasaba, dalam panggung ketoprak yang sama, dikisahkan terbunuh oleh utusan Joko Tingkir.
Jadi, antara Penangsang dan Babad Banyumas masih berpusar di wilayah yang sama. Berkisar pada masa yang sama, ketika Joko Tingkir berkuasa sebagai Sultan Pajang. Kekuasaan yang direbut dari pewaris takhta Demak yang syah, yakni Penangsang.
Bahkan, waktu untuk mencarinya pun berpusar di kisaran yang sama. Saya mencari Babad Banyumas sampai 5 tahun lamanya. Sebuah hitungan waktu yang hampir sama dengan ketika mengumpulkan bahan untuk menulis novel Penangsang.
Maka, beralihnya konsentrasi saya dari Penangsang ke Babad Banyumas, bukanlah sebuah lompatan beda arah. Melainkan hanya melanjutkan penasaran yang sama. Sebuah penasaran yang saya bawa dari masa kecil.
Dalam panggung ketoprak, juga dalam panggung sejarah, Penangsang adalah sosok yang dikehendaki kematiannya oleh Joko Tingkir.
Adipati Wirasaba pun demikian. Menjadi tokoh yang sial, yang menjadi sasaran kemarahan Joko Tingkir yang terburu-buru dalam menjatuhkan hukuman mati.
Jadi, beralihnya konsentrasi saya dari kisah pertentangan Jipang dan Pajang pada masa Penangsang, kemudian berbelok ke kisah hubungan Wirasaba dan Pajang, sesungguhnya masih satu panggung sejarah. Atau tepatnya masih satu panggung ketoprak pada masa kecil saya.