Kisah tragis Sabtu Pahing di Bale Malang menjadi cerita awal mula ketertarikan saya pada Babad Banyumas. Cerita berdarah itulah yang menjadi sebab berdirinya Banyumas. Dari panggung ketoprak saya pertama mengetahuinya.
Dikisahkan Sultan Pajang, Joko Tingkir, meminta pada adipati bawahannya mengirimkan putrinya untuk dijadikan penari istana. Sebuah permintaan raja yang menjadi kebanggan bagi para bawahannya. Karena dengan menjadi penari adalah awal mula menjadi pelayan raja, yang bisa berakhir menjadi selir raja. Dengan menjadi selir maka akan menjadi kerabat kerajaan. Selanjutnya akan menaikkan derajat para adipati bawahan.
Awalnya, Kadipaten Wirasaba adalah bawahan Kerajaan Majapahit. Seiring berpindahnya kekuasaan dari Majapahit ke Demak, maka berpindah pula ketundukannya. Demikian pula ketika beralih kekuasaan dari Demak ke Pajang, Wirasaba juga serta merta menjadi bawahan Pajang.
Sebagai adipati bawahan yang tunduk patuh, Adipati Warga Utama II pun mengirimkan putrinya. Berangkat dari Wirasaba ke Pajang, diantarkan sendiri oleh sang ayah.
Namun, dari penyerahan sang putri itulah kemudian masalah bermula.
Sang putri yang dipersembahkan ternyata sudah pernah menikah. Anak Demang Toyareka menyusul ke Pajang, mengaku sebagai suaminya. Padahal permintaan Joko Tingkir jelas, para gadis!
Karena putri dari Wirasaba sudah menikah, Joko Tingkir marah. Sang raja merasa direndahkan. Merasa dihina, dinistakan oleh adipati bawahan. Diberi persembahan perempuan yang bukan perawan.
Tak ayal, hukuman mati pun langsung dijatuhkan pada sang Adipati Wirasaba.
Joko Tingkir memerintahkan tiga orang prajurit mengejar Adipati Wirasaba yang sudah pulang. Di manapun bisa disusul, diperintahkan langsung dibunuh.
Setelah prajurit pergi, Joko Tingkir memanggil putri dari Wirasaba. Ditanyakan tentang kedatangan laki-laki yang mengaku sebagai suaminya.
Sang putri pun menjelaskan, yang datang adalah bekas suaminya. Sudah bercerai empat bulan silam. Namun, selama menikah mereka belum pernah berhubungan, karena tidak ada cinta. Jadi, meskipun sudah menikah, dia masih gadis. Maka, oleh sang ayah dipersembahkan ke Pajang.
Joko Tingkir menyesali keputusannya yang terburu-buru. Ia merasa telah mengambil keputusan yang keliru.
Dipanggillah tiga orang prajurit lagi untuk mengejar prajurit pertama. Diperintahkan untuk membatalkan pembunuhan karena Adipati Wirasaba tidaklah bersalah apa-apa.
Maka, adegan selanjutnya adalah yang kemudian menjadi kisah tragis Sabtu Pahing di Bale Malang. Peristiwa yang terjadi di dukuh Bener, bertepatan dengan hari Sabtu Pahing, kepulangannya dari Pajang. Hari yang sama dengan keberangkatan sang adipati dari Wirasaba ke Pajang.
Ketika sedang makan siang itulah utusan pertama dari Pajang datang.
Prajurit yang diperintahkan membunuh sang adipati berhasil mengejarnya. Namun, mereka tidak langsung menjatuhkan hukuman karena yang bersangkutan sedang makan. Mereka mempersilahkan Adipati Wirasaba menyelesaikan lebih dulu.
Belum selesai makan, ternyata datang rombongan prajurit kedua. Melihat prajurit pertama sudah berdiri di depan adipati, mereka melambaikan tangannya. Lambaian tangan sebagai tanda bahwa Joko Tingkir telah membatalkan keputusannya. Mereka merintahkan agar prajurit pertama jangan membunuh Adipati Wirasaba.
Namun, nasib tak bisa dihindarkan. Takdir sudah tertulis. Begitu melihat lambaian tangan itu, prajurit pertama justru langsung mencabut kerisnya, kemudian menghujamkan ke dada Adipati Wirasaba.
Dalam anggapan prajurit pertama, lambaian tangan dari prajurit kedua sebagai tanda agar mereka untuk segera menjatuhkan hukuman. Semacam kode perintah untuk segera membunuh Adipati Wirasaba.
Salah paham tentang lambaian tangan itu terekam jelas dalam ingatan saya sejak bocah. Sebuah adegan salah paham lanjutan yang berakibat tragis itu terus terekam dalam kenangan.
Salah paham pertama adalah ketika Joko Tingkir menjatuhkan hukuman karena menganggap putri Wirasaba bukanlah perawan, karena sudah menikah. Salah paham kedua dalah tentang lambaian tangan melarang, namun dianggap sebagai tanda untuk menyegerakan.
Adegan salah paham itulah yang membuat saya penasaran. Seperti apakah kisah sebenarnya yang tercatat dalam Babad Banyumas?
Penasaran masa kecil itu terbawa sampai tua. Hingga merasa harus berburu naskah asli Babad Banyumas. Agar jelas mendapatkan kisah dari sumber aslinya.
Wah, saya jadi penasaran dong…