Jalan itu bernama Jalan Adipati Mrapat. Tentu saja diambil dari nama pendiri Banyumas. Karena ibu kota Banyumas lama berada pada lintasan jalan itu.
Adipati Mrapat sangat dikenal oleh warga Banyumas, terutama generasi tuanya. Namun tidak tahu apakah generasi milenial dan zilenial tahu mengapa jalan itu bernama Adipati Mrapat.
Selain karena makin hilangnya ingatan sejarah warganya, jalan itu pun hanya sebuah jalur kecil. Bukan jalan di tengah kota Banyumas yang ramai. Hanya jalan kampung di dusun Karangturi, desa Pakunden, kecamatan Banyumas.
Namun bila diingat sebagai jalan sejarah, jalan itu mempunyai jejak yang besar. Saya bayangkan, dulu kala ketika Adipati Mrapat mencari keberadaan pohon Tembaga, jalan itulah yang dilewati.
Kemudian ketika Tumenggung Yudanegara II memindah ibu kotanya, saya bayangkan juga melewati jalan yang sama. Maka, jalan itu seolah jalur utama dari Banyumas lama menuju Banyumas baru.
Bila dilihat dari kisah tersebut, mestinya jalan tua itu memang sudah ada sejak jaman Adipati Mrapat. Apalagi jalurnya tepat melewati tengah-tengah situs bekas kota lama Banyumas. Jalan itu melintang dari timur ke barat, dari arah Banyumas menuju Dawuhan, tempat makam para bupati Banyumas.
Jalan bersejarah itu sekarang hanya menjadi jalan kampung di desa Pakunden dan desa Kalisube. Jalan yang sempit yang tidak bisa dilewati dua mobil. Bila berpapasan salah satu harus minggir sekali ke tepian jalan yang berbatasan dengan persawahan. Dulunya, persawahan itulah adalah alun-alun ibu kota Banyumas lama.
Karena Banyumas jaman Adipati Mrapat masih menggunakan tata kota jaman Jawa lama, mungkin mengikut tata letak kota Majapahit, yang alun-alunnya melintang dari timur ke barat. Beda dengan alun-alun Banyumas jaman Yudanegara II yang mengikuti pola Mataram Islam, yang berada di selatan dan utara.
Dalam Plesiran Babad Banyumas, jalan itu menjadi salah satu penanda keberadaan Banyumas lama. Hingga dijadikan sebagai jalan penelusuran menuju ke Banyumas baru. Banyumas yang dikenal orang sekarang.
Tumenggung Yudanegara II, bupati Banyumas kala itu, memindah ibu kotanya, karena menganggap ibu kota Banyumas lama sudah tidak suci lagi. Paling tidak ada tiga alasan yang membuatnya tidak mau menempati ibu kota yang dibangun leluhurnya itu.
Alasan pertama, karena pada pemerintahan ayahnya, Tumenggung Yudanegara I, Banyumas pernah disatroni gerombolan Saradenta dan Saradenti, anak buah Untung Suropati. Pusat pemerintahan yang pernah dikuasai orang lain dianggap sudah tidak suci lagi.
Alasan kedua, Tumenggung Yudanegara I sebagai Bupati Banyumas meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh keraton Mataram Kartasura. Ibu kota yang pemimpinnya dihukum mati dianggap sudah tidak suci lagi.
Alasan ketiga, setelah Tumenggung Yudanegara I meninggal yang menggantikan adalah Tumenggung Suradipura, tokoh dari Keraton Mataram Kartasura. Ibu kota yang pemimpinnya pernah dijabat bukan oleh trah Banyumas dianggap sudah tidak suci lagi.
Maka, dengan alasan itu Banyumas lama kemudian ditinggalkan. Selama ratusan tahun orang pun ikut melupakannya. Hingga sampai sekarang, tidak banyak orang yang tahu bahwa dulunya patilasan di desa Kalisube dan Pakunden adalah sebuah ibu kota kabupaten.
Hingga, ketika saya mengajak pecinta sejarah untuk melakukan penelusuran, banyak yang tidak menduga. Ketika dalam sambutan saya sampaikan tentang Banyumas lama dan Banyumas baru, mereka seperti mendengar kabar yang baru didengar.
Bahwa dulunya kawasan itu, situs Tembagan yang sekarang menjadi makam, adalah sebuah pusat pemerintahan Banyumas pertama. Ibu kota yang didirikan Adipati Mrapat pada tahun 1571, sebelum dipindah oleh Tumenggung Yudanegara II pada tahun 1727.
Dalam rentang 156 tahun itu ada 6 bupati yang mendiami Banyumas lama. Bupati yang pertama adalah Adipati Mrapat selama 11 tahun, kemudian bupati kedua Ngabehi Janah selama 13 tahun, lalu bupati ketiga Ngabehi Kaligetuk selama 25 tahun, bupati keempat Ngabehi Mertasura selama 30 tahun, bupati kelima Tumenggung Yudanegara I selama 65 tahun, dan bupati keenam Tumenggung Suradipura selama 12 tahun.
Ketika Tumenggung Yudanegara II diangkat menjadi bupati Banyumas ia memindah ibu kotanya ke arah timur, pada sebuah bukit bernama Geger Duren. Kawasan yang dulunya merupakan pusat Kadipaten Selarong, nama purba sebelum berganti menjadi Banyumas.
Bekas kadipaten Banyumas lama ditinggal begitu saja. Tidak terawat. Bahkan pendapa dan segala bangunan lain pun tidak dibawa. Tumenggung Yudanegara II benar-benar membangun ibu kota baru dengan bangunan baru.
Jadi Bupati Banyumas ke-7 itu bukan memindah bangunan dari ibu kota lama ke ibu kota yang baru. Melainkan membangun bangunan baru di ibu kota yang baru.
Buktinya adalah umpak pendapa Banyumas lama pun tidak dibawa. Justru ditemukan di Gumelem dijadikan umpak pendapa Kademangan.
Setelah Kademangan Gumelem berubah menjadi desa pada tahun 1955, pendapa pun runtuh. Namun, umpak itu masih berada di sana sampai sekarang. Menjadi pilar masuk salah satu perangkat desa Gumelem.
Plesiran Babad Banyumas berusaha mengenalkan ibu kota Banyumas lama. Dengan menyusuri jalan Adipati Mrapat itu perjalanan dilanjutkan menuju ibu kota Banyumas baru.
Sebuah acara kecil yang juga untuk mengingat upacara pemindahan pusat kekuasaan pada masa tiga abad silam. Sebuah pemindahan dengan semangat mengubah dari peristiwa kelam masa silam menuju masa depan yang penuh harapan.
Selain itu juga dengan tujuan yang lebih sederhana. Mengenalkan sosok Adipati Mrapat yang menjadi nama dari jalan tersebut.