Mencari Ibu Kota Banyumas Lama dalam Plesiran Babad Banyumas

April 18, 2022 ·

Adipati Mrapat adalah tokoh yang membangun kota Banyumas lama (gambar kiri). Sedangkan Adipati Yudanegara II adalah yang membangun kota Banyumas baru (gambar kanan).

Jalan itu bernama Jalan Adipati Mrapat. Tentu saja diambil dari nama pendiri Banyumas. Karena ibu kota Banyumas lama berada pada lintasan jalan itu.

Adipati Mrapat sangat dikenal oleh warga Banyumas, terutama generasi tuanya. Namun tidak tahu apakah generasi milenial dan zilenial tahu mengapa jalan itu bernama Adipati Mrapat.

Selain karena makin hilangnya ingatan sejarah warganya, jalan itu pun hanya sebuah jalur kecil. Bukan jalan di tengah kota Banyumas yang ramai. Hanya jalan kampung di dusun Karangturi, desa Pakunden, kecamatan Banyumas.

Namun bila diingat sebagai jalan sejarah, jalan itu mempunyai jejak yang besar. Saya bayangkan, dulu kala ketika Adipati Mrapat mencari keberadaan pohon Tembaga, jalan itulah yang dilewati.

Kemudian ketika Tumenggung Yudanegara II memindah ibu kotanya, saya bayangkan juga melewati jalan yang sama. Maka, jalan itu seolah jalur utama dari Banyumas lama menuju Banyumas baru.

Bila dilihat dari kisah tersebut, mestinya jalan tua itu memang sudah ada sejak jaman Adipati Mrapat. Apalagi jalurnya tepat melewati tengah-tengah situs bekas kota lama Banyumas. Jalan itu melintang dari timur ke barat, dari arah Banyumas menuju Dawuhan, tempat makam para bupati Banyumas.

Jalan bersejarah itu sekarang hanya menjadi jalan kampung di desa Pakunden dan desa Kalisube. Jalan yang sempit yang tidak bisa dilewati dua mobil. Bila berpapasan salah satu harus minggir sekali ke tepian jalan yang berbatasan dengan persawahan. Dulunya, persawahan itulah adalah alun-alun ibu kota Banyumas lama.

Penanda Jalan Adipati Mrapat yang keadaannya sudah memprihatinkan. Papannya terlepas dari tiangnya, hingga tidak tegak terbaca. Ditambah plang yang kecil dan kurang jelas terbaca, hingga bagi yang tidak teliti kesulitan menemukannya.

Karena Banyumas jaman Adipati Mrapat masih menggunakan tata kota jaman Jawa lama, mungkin mengikut tata letak kota Majapahit, yang alun-alunnya melintang dari timur ke barat. Beda dengan alun-alun Banyumas jaman Yudanegara II yang mengikuti pola Mataram Islam, yang berada di selatan dan utara.

Dalam Plesiran Babad Banyumas, jalan itu menjadi salah satu penanda keberadaan Banyumas lama. Hingga dijadikan sebagai jalan penelusuran menuju ke Banyumas baru. Banyumas yang dikenal orang sekarang.

Tumenggung Yudanegara II, bupati Banyumas kala itu, memindah ibu kotanya, karena menganggap ibu kota Banyumas lama sudah tidak suci lagi. Paling tidak ada tiga alasan yang membuatnya tidak mau menempati ibu kota yang dibangun leluhurnya itu.

Alasan pertama, karena pada pemerintahan ayahnya, Tumenggung Yudanegara I, Banyumas pernah disatroni gerombolan Saradenta dan Saradenti, anak buah Untung Suropati. Pusat pemerintahan yang pernah dikuasai orang lain dianggap sudah tidak suci lagi.

Alasan kedua, Tumenggung Yudanegara I sebagai Bupati Banyumas meninggal karena dijatuhi hukuman mati oleh keraton Mataram Kartasura. Ibu kota yang pemimpinnya dihukum mati dianggap sudah tidak suci lagi.

Alasan ketiga, setelah Tumenggung Yudanegara I meninggal yang menggantikan adalah Tumenggung Suradipura, tokoh dari Keraton Mataram Kartasura. Ibu kota yang pemimpinnya pernah dijabat bukan oleh trah Banyumas dianggap sudah tidak suci lagi.

Maka, dengan alasan itu Banyumas lama kemudian ditinggalkan. Selama ratusan tahun orang pun ikut melupakannya. Hingga sampai sekarang, tidak banyak orang yang tahu bahwa dulunya patilasan di desa Kalisube dan Pakunden adalah sebuah ibu kota kabupaten.

Hingga, ketika saya mengajak pecinta sejarah untuk melakukan penelusuran, banyak yang tidak menduga. Ketika dalam sambutan saya sampaikan tentang Banyumas lama dan Banyumas baru, mereka seperti mendengar kabar yang baru didengar.

Berkisah tentang Banyumas lama yang didrikan oleh Adipati Mrapat dan kepindahan ke Banyumas baru oleh Adipati Yudanegara II, di tengah Jalan Adipati Mrapat.

Bahwa dulunya kawasan itu, situs Tembagan yang sekarang menjadi makam, adalah sebuah pusat pemerintahan Banyumas pertama. Ibu kota yang didirikan Adipati Mrapat pada tahun 1571, sebelum dipindah oleh Tumenggung Yudanegara II pada tahun 1727.

Dalam rentang 156 tahun itu ada 6 bupati yang mendiami Banyumas lama. Bupati yang pertama adalah Adipati Mrapat selama 11 tahun, kemudian bupati kedua Ngabehi Janah selama 13 tahun, lalu bupati ketiga Ngabehi Kaligetuk selama 25 tahun, bupati keempat Ngabehi Mertasura selama 30 tahun, bupati kelima Tumenggung Yudanegara I selama 65 tahun, dan bupati keenam Tumenggung Suradipura selama 12 tahun.

Ketika Tumenggung Yudanegara II diangkat menjadi bupati Banyumas ia memindah ibu kotanya ke arah timur, pada sebuah bukit bernama Geger Duren. Kawasan yang dulunya merupakan pusat Kadipaten Selarong, nama purba sebelum berganti menjadi Banyumas.

Bekas kadipaten Banyumas lama ditinggal begitu saja. Tidak terawat. Bahkan pendapa dan segala bangunan lain pun tidak dibawa. Tumenggung Yudanegara II benar-benar membangun ibu kota baru dengan bangunan baru.

Jadi Bupati Banyumas ke-7 itu bukan memindah bangunan dari ibu kota lama ke ibu kota yang baru. Melainkan membangun bangunan baru di ibu kota yang baru.

Buktinya adalah umpak pendapa Banyumas lama pun tidak dibawa. Justru ditemukan di Gumelem dijadikan umpak pendapa Kademangan.

Setelah Kademangan Gumelem berubah menjadi desa pada tahun 1955, pendapa pun runtuh. Namun, umpak itu masih berada di sana sampai sekarang. Menjadi pilar masuk salah satu perangkat desa Gumelem.

Umpak batu (tempat penopang tiang saka guru pendapa) peninggalan Kabupaten Banyumas lama jaman Tumenggung Yudanegara I yang berada di Gumelem. Benda bersejarah yang seolah terbuang. Akan lebih baik bila dikembalikan ke Banyumas menjadi bukti sejarah masa silam.

Plesiran Babad Banyumas berusaha mengenalkan ibu kota Banyumas lama. Dengan menyusuri jalan Adipati Mrapat itu perjalanan dilanjutkan menuju ibu kota Banyumas baru.

Sebuah acara kecil yang juga untuk mengingat upacara pemindahan pusat kekuasaan pada masa tiga abad silam. Sebuah pemindahan dengan semangat mengubah dari peristiwa kelam masa silam menuju masa depan yang penuh harapan.

Selain itu juga dengan tujuan yang lebih sederhana. Mengenalkan sosok Adipati Mrapat yang menjadi nama dari jalan tersebut.

Kategori:Plesiran
SEUWISE

Pendapa Duplikat dalam Plesiran Babad Banyumas

Pendapa itu bukan bangunan aslinya. Hanya tiruannya saja. Maka orang pun menyebutnya pendapa duplikat. Bangunan aslinya sudah dipindah ke kota Purwokerto pada tahun 1937. Ketika Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto bergabung. Namun, warga Banyumas masih meyakini bangunan tiruan itu sebagai…
WACA
SEDURUNGE

Pohon Tembaga dalam Plesiran Babad Banyumas

Petunjuk utama adalah pohon Tembaga. Petunjuk tentang tempat di mana Adipati Mrapat harus mendirikan ibu kota Kabupaten Banyumas. “Yen sirarsa widada, ing kawibawanireku, amengkoni Wirasaba, sira ngaliha nagari, saking bumi Wirasaba, sira manggona ing kulon, ing tanah bumi Kejawar, prenah…
WACA
LIYANE

Berdirinya Kabupaten Banyumas dalam Babad Banyumas Mertadiredjan

Setelah mengisahkan tentang kematian tragis Adipati Wirasaba Warga Utama, Babad Banyumas Mertadiredjan kemudian mengisahkan tentang berdirinya Kabupaten Banyumas.  Bahwa setelah Adipati Warga Utama meninggal, Sultan Pajang merasa menyesal. Hingga akhirnya meminta maaf dengan cara mengundang anak-anak sang adipati datang ke…
WACA
LIYANE

Jelajah Sejarah Babad Banyumas

Pada waktu menulis pentalogi Serial Penangsang pijakan saya adalah naskah Babad Tanah Jawi. Maka, apa dan siapa yang dikisahkan dalam naskah Babad Tanah Jawi itu saya lacak jejaknya. Hingga datanglah saya ke Pajang, ke bekas kerajaan Joko Tingkir. Datang ke…
WACA
LIYANE

Adipati Mrapat

Sebagai Adipati Wirasaba, Raden Jaka Kaiman bergelar Adipati Warga Utama II. Namun, ia lebih dikenal dengan sebutan Adipati Mrapat. Karena dengan berbesar hati telah membagi empat (mara papat) wilayah Wirasaba. Keberaniannya dalam mengambil keputusan di saat yang sulit serta niat…
WACA
LIYANE

Panggung Ketoprak Babad Banyumas

Saya menulis novel panjang Penangsang bermula dari kenangan masa kecil. Ketika kelas 4 SD setiap malam melihat pentas ketoprak tobong di desa saya. Dari panggung ketoprak itulah saya mengenal sosok Penangsang, berikut kisah yang membelitnya, terutama perseteruannya dengan Joko Tingkir.…
WACA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Babad Banyumas - Rujukan Utama Sejarah Banyumas.