Wawancara Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, 27 Tahun Berburu Babad Banyumas.
Sepanjang berburu Babad Banyumas, saya tidak menemukan sosok lain yang menaruh perhatian penuh pada Babad Banyumas, selain Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum.
Maka, sejak pertama mengenal namanya pada tahun 1999 lewat kolom sejarah Banyumas dalam halaman koran lokal Purwokerto, saya berusaha mengikuti hasil-hasil penelitiannya. Beberapa saya dapatkan dari buku-buku yang kemudian diterbitkan. Beberapa lagi saya baca dari artikel yang dimuat dalam berbagai jurnal sejarah.
Namun, bisa sering bertemu langsung, diskusi, setelah saya pulang kampung ke Banyumas, pada tahun 2015. Tahun ketika saya mulai perjalanan berburu naskah Babad Banyumas. Tepat ketika beliau sudah menghentikan perburuannya.
Karena ketekunannya itulah saya banyak menyandarkan pendapat terkait sejarah Banyumas pada kajian beliau. Kebetulan, apa yang saya lakukan, seolah mengikuti jejak yang sudah lebih dulu dikerjakannya. Saya berburu Babad Banyumas dengan cara yang sama seperti yang pernah dilakukannya. Berkeliling ke tempat-tempat dan nama-nama yang sekiranya menyimpan naskah Babad Banyumas.
Bahkan, tanpa saya sadari, naskah Babad yang kemudian saya terjemahkan, yakni Babad Banyumas Mertadiredjan dan naskah Babad Banyumas Wirjaatmadjan, sama dengan naskah yang diangkat dalam kajian tesis dan disertasinya. Padahal kami tidak janjian. Saya mengetahuinya setelah selesai menerjemahkan, bahkan setelah terjemahan saya terbit. Sebab dua hasil kajiannya itu sampai sekarang (awal tahun 2020, ketika wawancara) belum diterbitkan jadi buku.
Kajian tesisnya berjudul “Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif” di bawah bimbngan Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo dan Dr. Imran T. Abdullah. Meraih gelar Magister Humanniora dari Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, pada tahun 1995.
Sedangkan kajian disertasinya berjudul “Dinamika Sosial Budaya Banyumas dalam Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan: Suntingan Teks dan Terjemahan” di bawah bimbingan promotor Prof. Dr. Siti Chamamah-Soeratno dan kopromotor Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo dan Prof. Dr. Iman T. Abdullah. Ujian terbuka digelar pada 29 September 2010 di Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Untuk melengkapi perburuan Babad Banyumas yang saya susun menjadi buku serial, saya sengaja melakukan wawancara khusus terkait perburuan yang sudah lebih dulu dilakukan
Nuwun sewu, sejak kapan mengumpulkan Babad Banyumas?
Kisaran tahun 1988. Ketika akan menulis tesis.
Terus, kapan terakhir mengumpulkan Babad Banyumas?
Waktu menulis disertasi. Sekitar tahun 2010.
Berarti sejak tahun 1988 sampai 2010 itu berhasil mengumpulkan 101 naskah Babad Banyumas?
Iya. 101 naskah.
Mengapa tertarik mengumpulkan naskah Babad Banyumas?
Karena sejarah lokal. Saya ingin mendalami sejarah lokal Banyumas yang menurut saya belum bertuan. Belum ada sejarawan yang mengkajinya.
Bukan karena lahir di desa Pekunden yang dekat dengan kekuasaan Banyumas?
Ya, mungkin itu salah satu alasan juga. Karena di situ tempat main saya sejak kecil. Istilahnya wilayah bersejarah tersebut adalah tempat saya blasakan dan blusukan ketika bocah. Jadi, mungkin ya sejak anak-anak sebenarnya sudah tertarik dengan sejarah Banyumas.
Naskah Babad Banyumas versi apa yang pertama kali didapatkan?
Sekitar tahun 1983, ayah saya membawa naskah tulisan tangan Babad Banyumas milik temannya, sesama pemain kethoprak. Ayah saya adalah pegiat kethoprak di Pekunden, Banyumas. Beliau meminta saya mengetikkan naskah tersebut. Pemilik naskah Babad Banyumast, namanya Pak Nakim, menulis di buku tulis. Ayah saya memerintahkan untuk diketikkan. Saya kemudian menyebutnya Babad Banyumas Nakim.
Berarti pertama mendapatkan naskah Babad Banyumas pada tahun 1983, tapi mulai mencari dan mengumpulkan pada tahun 1988?
Ya. Pertama kali dapat pada tahun 1983. Namun mulai mencari, kemudian menjadi bahan tesis itu tahun 1988.
Masuk versi mana Babad Banyumas Nakim tersebut?
Naskah Babad Banyumas Nakim tidak lengkap. Jadi versinya agak mirip versi Mertadiredjan. Tetapi tidak selengkap Babad Banyumas Mertadiredjan
Maksudnya tidak lengkap? Apa penulisannya tidak sampai pada masa Yudanegara?
Ya. Tidak sampai. Hanya bercerita tentang pendirian Banyumas jaman Adipati Mrapat saja. Tapi gaya berceritanya ke arah versi Mertadiredjan. Jangan-jangan dia pernah dengar cerita Babad Banyumas versi Mertadiredjan. Orang dulu kan lebih banyak mengisahkan, menceritakan, daripada menuliskan. Nah, dari cerita yang didengar itulah, sepertinya Nakim menuliskannya.
Kalau dihitung sejak 1983 sampai 2010, berarti sudah 27 tahun mengumpulkan Babad Banyumas. Pengalaman apa yang paling menarik selama berburu Babad Banyumas?
Rata-rata semua orang yang mempunyai naskah Babad Banyumas, setiap saya datangi, pasti meminjamkan naskahnya. Padahal biasanya sulit sekali seorang pemilik naskah kuno meminjamkan naskah pada orang yang baru dikenal.
Berarti seperti diberikan jalan yang terbuka, ya? Jalan terbuka dengan mudah. Seperti ketika mendapatkan Babad Banyumas Kalibening?
Ya. Mendapatkn naskah Babad Banyumas Kalibening itu ajaib. Juru kuncinya itu mendapatkan mimpi terlebih dahulu sebelum saya datang. Bahwa besok akan datang lima orang, salah satu dari mereka akan meminjam naskah tua. Betul, waktu itu saya datang berlima dengan teman-teman dari Linggarahmas. Itu dulu lembaga kajian yang saya dirikan. Singkatan dari Penelitian dan Penggalian Sejarah Banyumas.
Tahun berapa itu?
Kisaran tahun 1988, ketika pertama saya jadi dosen. Ketika itu masih jadi dosen luar biasa. Hanya mengajar 2 mata kuliah, setelah itu kosong. Makanya setiap hari saya pergi, jalan-jalan berburu Babad Banyumas.
Pada waktu bertemu itu langsung meminjam?
Tidak. Waktu berlima saya belum meminjam. Setelah pertemuan itu besoknya saya datang lagi, sendirian. Saya sampaikan niat meminjam naskah Kalibening. Ternyata dikeluarkan semua. Pada waktu itulah, juru kunci mengaku, bahwa dia sudah mendapatkan mimpi untuk bertemu saya. Maka, diberikan dua naskah yang selama ini tidak seorang pun boleh membuka. Naskah yang pertama adalah Babad Banyumas. Naskah yang kedua naskah primbon, yang seperti Primbon Bonang. Naskah Babad Banyumas, kertasnya berupa potongan-potongan, yang kemudian dijilid seperti dijahit. Sedangkan naskah primbon Kalibening berupa kertas gulungan.
Naskah Babad Banyumas Kalibening kan sudah diterjemahkan, juga sudah diterbitkan. Apakah naskah Primbon Kalibening juga sudah diterjemahkan?
Belum sempat. Sebenarnya saya sudah ada bayangan. Hanya belum ada waktu saja. Belum ada semangat. Kalau naskah Babad Banyumas, ketika pertama saya pinjam, langsung saya baca dalam 7 hari selesai. Tahun 1988 saya pinjam. Namun baru tahun 1991 saya ketik terjemahannya. Kemudian saya cetak terbatas tahun itu. Jadi, saya punya kebiasaan setiap selesai mengalihbahasakan atau menerjemahkan naskah, saya jilid sebanyak lima buku. Termasuk yang Babad Pasirluhur, sebelum diterbitkan jadi buku, saya cetak terbatas dulu dalam lima buku. Terjemahan Babad Banyumas Kalibening baru diterbitkan tahun 2016.
Sekarang tentang versi. Pertama saya tahunya kan Babad Banyumas terbagi dalam 6 versi. Waktu tahun 2002. Sekarang ternyata sudah jadi 65 versi. Berapa kali terjadi revisi versi sejak 6 versi sampai menjadi 65 versi?
Ketika saya menulis tesis, tahun 1995. Waktu itu saya baru mengumpulkan 30-an naskah Babad Banyumas. Itu yang menjadi awal mula lahirnya 6 versi. Namun, kemudian saya menemukan banyak naskah lagi. Akhirnya berkembang versi-versi tersebut. Pada waktu digelar Simposium Ilmu-ilmu Humaniora, tahun 1996, ketika Umar Kayam pensiun, saya mengirim naskah makalah. Ketika itu sudah berkembang menjadi 14 versi. Kemudian berkembang lagi versinya. Sampai ketika saya menyusun disertasi, tahun 2010, sudah menjadi 65 versi.
Bedanya versi dan varian itu sebenarnya apa?
Kalau versi itu adalah perbedaan yang mencolok. Misalnya berdasarkan bahasa yang dipakai. Jadi terjemahan itu juga sudah termasuk versi. Kemudian alur ceritanya. Kemudian kalau ada sisipan dalam cerita. Jadi bisa dikatakan kalau versi adalah isi yang berbeda.
Sedangkan kalau varian? Apakah bentuknya yang berbeda?
Varian itu hanya perbedaan kecil-kecil saja. Misalnya bentuk-bentuk tembangnya. Hanya perbedaan kecil-kecil saja. Jadi, walau sama-sama tembang, sama-sama gancaran, tapi ada sisipan yang berbeda.
Jadi, varian lebih banyak kesamaan, sementara versi lebih banyak perbedaan?
Ya, semacam itu.
Mengapa ketika dulu menulis tesis, Babad Banyumas Mertadiredjan yang dijadikan bahan penelitian, bukankah waktu itu sudah ada 30 naskah yang dikumpulkan?
Karena Babad Banyumas Mertadiredjan adalah versi tembang yang paling tua. Karena ada versi tembang yang lebih muda, semacam versi Dipayudan.
Kemudian, mengapa ketika menulis disertasi, Babad Banyumas Wirjaatmadjan yang dijadikan bahan penelitian? Bukankah waktu itu sudah 101 naskah yang dikumpulkan?
Karena Babad Banyumas Wirjaatmadjan adalah pseudeo babad. Namanya menggunakan kata babad, tapi isinya sebenarnya tidak bercerita tentang hal yang biasanya tertulis babad. Karena menggunakan istilah babad tapi tidak mengisahkan mitos, legenda, dan dongeng dalam karyanya.
Berarti definisi babad itu harus ada cerita mitosnya?
Ya. Harus ada cerita mitosnya, ada cerita supranaturalnya, ada dongengnya.
Berarti tanpa cerita macam itu tidak bisa disebut babad?
Ya. Karena Patih Wirjaatmadjan kan menuliskan dari cerita yang didengar dari para leluhurnya dan catatan dari orang-orang tua.
Berarti diangkat jadi disertasi karena memakai nama babad, padahal sebetulnya bukan babad?
Ya. Babad Banyumas Wirjaatmadjan semacam buku sejarah modern.
Bukan karena bentuknya gancaran, maka dijadikan disertasi?
Bukan. Karena pseudeo babad itu.
Selain Babad Banyumas Wirjaatmadjan, naskah babad apa yang juga pseudo babad?
Itu tadi, Babad Banyumas Kalibening. Bahkan itu lebih tua usianya. Jadi pseudeo babad itu ceritanya mengenai manusiawi. Ceritanya natural. Cerita manusia sewajarnya. Tidak ada kesaktian-kesaktian. Makanya dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan tidak ada kisah tentang Adipati Mrapat mendapatkan pulung ketika menjadi abdi punakawan Kadipaten Wirasaba. Juga tidak ada kisah Adipati Mrapat menerima wangsit memindah ke Banyumas agar kekuasaannya lestari dan jaya ke depannya.
Sebetulnya, babad itu karya sastra, kan ya? Bukan sejarah?
Para ahli teori selalu mengatakan itu. Namun, saya mengatakan, bahwa babad jangan diklaim dan dimonopoli oleh ahli sastra. Karena itu babad jangan dianggap karya yang dingin, karya yang dianggap selesai.
Karena para sejarawan Barat selalu mengatakan bahwa babad bukan sumber sejarah ya?
Iya. Itu. Karena kalau begitu, karya nenek orang tua kita mau diapakan?
Setelah mengumpulkan banyak naskah, apa yang menarik dari Babad Banyumas?
Ternyata masyarakat Banyumas kreatif sekali. Terutama dalam berkreasi menuliskan babad. Setiap keluarga selalu ingin menulis kisah keluarganya. Melalui trah-trah tertentu sebagai legitimasi. Apalagi kalau dalam keluarga itu mengalami mobilitas tinggi dalam kenaikan jabatan, menjadi orang terhormat, mereka ingin tampil juga dalam babad.
Tentang kreativitas itu, yang kemudian melahirkan banyak versi Babad Banyumas?
Babad Banyumas tidak mengalami kematian penulisan naskahnya. Beda dengan Babad Pasirluhur. Sejak abad ke 16, lama kosong, kemudian muncul lagi abad 19. Yang Knebel itu. Berarti dari tiga abad tidak ada penulisan naskah. Sementara Babad Banyumas terus berkembang ters naskahnya.
Bahkan, kelihatannya penulis naskah Babad Banyumas Mertadiredjan pernah datang ke Kalibening. Namun tidak berhasil membaca babadnya. Tidak dipinjami. Jadi hanya mendengarkan cerita saja. Karena kalau saya baca, Babad Banyumas Mertadiredjan mirip dengan naskah Babad Banyumas Kalibening. Jadi, naskah dalam Babad Banyumas Kalibening masuk dalam naskah Babad Banyumas Mertadiredjan. Silsilah yang ditulis dalam Babad Banyumas Mertadiredjan cocok dengan naskah Babad Banyumas Kalibening. Mungkin Adipati Mertadiredja I yang memerintahkan.
Kemungkinan naskah Babad Banyumas Mertadiredjan ditulis pada tahun 1825-an. Setelah itu banyak penulisan Babad Banyumas versi lainnya. Animo masyarakat Banyumas dalam menulis Babad Banyumas begitu besar.
Apakah sekarang masih mengumpulkan naskah Babad Banyumas?
Sudah tidak. Karena sepertinya sudah cukup 101 naskah. Meskipun kadang-kadang masih menemukan. Namun hanya salinan-salinan saja. Karena standarnya sudah itu, yang masuk dalam 65 versi. Karena saya sudah mencari ke Perpustakaan Nasional, ke Musium Sono Budoyo, sampai ke Museum Leiden. Yang disimpan di Museum Leiden ada tiga naskah Babad Banyumas. Namun hanya bentuk gancaran saja. Naskah yang tembang tidak ada.
Apakah Babad Banyumas wajib menjadi bacaan masyarakat Banyumas?
Mestinya wajib. Harus. Pemerintah seharusnya mewajibkan.
Masuk kurikulum Sekolah Dasar mungkin tidak?
Sebenarnya bisa. Masuk dalam sejarah lokal. Sebagai pengimbang dari pelajaran sejarah nasional yang selama ini sudah dimasukkan. Agar masyarakat Banyumas mengetahui sejarahnya. Agar sejak kecil, siswa tahu sejarah lokalnya sendiri. Mestinya menjadi kebijakan pemerintah.
Sudah pernah mengusulkan untuk memasukkan dalam kurikulum muatan lokal?
Sudah berkali. Agar menjadi kebijakan pemerintah daerah. Bahkan berkali juga saya mengusulkan ada pahlawan daerah Banyumas. Jangan pahlawan nasional saja.
Oh ya, terkait nama pahlawan sebagai jalan. Mengapa nama Adipati Mertadiredja I, Adipati Mertadiredja II, dan Adipati Mertadiredja III, menjadi nama jalan tapi di pinggiran kota?
Itu Perda yang dibuat oleh DPRD Banyumas. Mungkin menurut mereka nama Mertadiredja lebih kecil bila dibandingkan dengan nama Soedirman dan Gatot Soebroto.
Kalau begitu, mengapa tidak dijadikan nama jalan utama di Sokaraja? Bukankah Adipati Mertadiredja I lahir, besar, dan menjabat di Sokaraja.
Karena sudah lebih dulu ada nama jalan Supardjo Roestam. Tokoh nasional. Sementara orang juga tidak tahu siapa Mertadiredja. Orang-orang Banyumas tidak tahu sejarahnya. Bahkan Adipati Mrapat saja tidak menjadi nama jalan utama di Banyumas. Padahal pendiri Banyumas.
Mestinya menjadi jalan utama dari bekas Kabupaten Banyumas ke bekas Karesidenan, ya?
Ya itu. Dulunya kan namanya Jalan Residen. Sekarang menjadi Jalan Pramuka.