Pada waktu menulis pentalogi Serial Penangsang pijakan saya adalah naskah Babad Tanah Jawi. Maka, apa dan siapa yang dikisahkan dalam naskah Babad Tanah Jawi itu saya lacak jejaknya.
Hingga datanglah saya ke Pajang, ke bekas kerajaan Joko Tingkir. Datang ke Demak, bekas Kesultanan Islam yang pertama didirikan para ulama. Datang ke Kalinyamat, Mantingan, dan Danaraja, bekas keraton, makam, dan pertapaan Ratu Kalinyamat.
Lanjut ke bukit Prawoto, istana yang digunakan Sultan Demak kala musim hujan. Juga tempat Sunan Mukmi kemudian berdiam dan dimakamkan, hingga dikenal sebagai Sunan Prawoto. Ke Jipang, kadipaten tempat Penangsang berkuasa. Ke Kadilangu, makam Sunan Kalijaga. Juga Ke Colo, makam Sunan Muria yang berada di puncak bukit.
Berikutnya ke Kudus, makam Sunan Kudus. Ke Sunggingan, makam Telingsing. Ke Pengging, bekas istana Keraton Pengging, tempat kelahiran Joko Tingkir, bekas kerajaan Pengging. Ke Butuh, makam Joko Tingkir bersama kedua orang tuanya.
Kemudian juga ke Kotagede, istana Mataram Panembahan Senopati. Ke Plered dan Kerta, istana Mataram Sultan Agung dan Amangkurat. Lalu ke Mbayat, makam Ki Ageng Pandanaran.
Semua petilasan yang tercatat namanya dalam Babad Tanah Jawi, yang berkaitan dengan Penangsang dan Joko Tingkir, saya datangi satu per satu. Semua saya ziarahi.
Entah mengapa, ada keasyikan tersendiri setelah membaca pustaka kemudian melanjutkan ‘bacaan’ dengan melakukan ziarah sejarah. Melacak semua tempat yang tercatat dalam babad. Menelusur jejak masa lampau sambil membayangkan apa yang terjadi pada lima abad silam.
Ada kepuasan lain daripada hanya sekadar membaca naskah saja.
Dengan datang langsung ke tempat tersebut membuat gambaran dan bayangan dari bacaan sebelumnya. Kekuatan yang bisa untuk mengembalikan kisah dalam tulisan saya semakin berdaya dan punya kekuatan.
Tanpa mendatangi tempatnya, saya tak bisa membayangkan yang terjadi pada masa silam, seperti yang tertulis dalam babad.
Begitupun setelah membaca Babad Banyumas. Saya melanjutkannya dengan ziarah sejarah.
Bahwa kita semua tahu, sejarah Banyumas bermula dari Kadipaten Wirasaba. Maka saya pun datang ke Wirasaba, pusat kekuasaan masa lalu itu.
Wirasaba, dulunya sebuah kadipaten yang sangat luas wilayahnya, namun sekarang hanya sebuah desa kecil saja. Di Wirasaba hanya bisa ditemukan makam para adipati Wirasaba di dusun Kecepit. Bekas bangunan kadipatennya lenyap tanpa jejak, tak ada orang yang tahu lagi di mana pastinya. Persis seperti istana Kesultanan Demak yang juga lenyap jejaknya setelah kekuasaan dipindah Joko Tingkir ke Pajang.
Pendiri Banyumas adalah Raden Jaka Kaiman. Masa kecil hingga remajanya dihabiskan di Kejawar, dalam asuhan Kyai Mranggi Semu dan istrinya, Nyai Mranggi. Saya pun datang ke Kejawar, melacak jejak Kyai Mranggi dan Nyai Mranggi. Dan saya menemukan makamnya di puncak bukit. Makam Kyai Mranggi di puncak bukit Kejawar. Makam Nyai Mranggi di puncak bukit Wanasepi. Sesuatu yang aneh, dan menimbulkan pertanyaan, karena suami istri itu terpisah jauh makamnya.
Saat mencari makam Kyai Mranggi Semu, saya melewati sebuah sungai kecil. Sungai yang menurut penuturan juru kunci bernama Kali Gajahendra. Dalam Babad Banyumas, Gajahendra adalah keris pusaka Raden Jaka Kaiman, hasil pemberian dari Kyai Tolih.
Saya pun kemudian berziarah ke makam Kyai Tolih, di Cikakak, Wangon. Kyai Tolih adalah bekas patih Kerajaan Bonokeling yang mempunyai keris pusaka Raja Bonokeling. Keris yang kemudian diberi nama Gajahendra oleh Raja Majapahit, setelah Kyai Tolih gagal membunuhnya.
Konon, sungai Gajahendra dulunya menjadi tempat mencuci keris pusaka Kyai Mranggi Semu. Pekerjaan Kyai Mranggi Semu adalah membuat warangka keris.
Sayang, batu tempat meletakkan keris setelah dicuci di sungai itu sekarang sudah hilang. Kemungkinan dicuri orang.
Dalam babad, keris Gajahendra tidak punya warangka, akhirnya Kyai Tolih minta dibuatkan pada Kyai Mranggi Semu. Namun, keris itu membuat sang anak, Raden Jaka Kaiman, tertarik. Maka oleh Kyai Tolih justru memeberikan keris itu padanya. Bahkan sejak itu, Raden Jaka Kaiman kemudian diangkat anak.
Nyai Mranggi adalah bibi Raden Jaka Kaiman. Nama aslinya Rara Ngaisah. Dia adalah adik bungsu Raden Banyaksasra, ayah Jaka Kaiman. Karena ayahnya mati muda, sang anak diasuh oleh bibinya di Kejawar. Hingga remaja, hingga mengabdi ke Wirasaba. Sampai akhirnya diangkat menjadi menantu sang adipati.
Karena sang mertua, Adipati Warga Utama terbunuh, Jaka Kaiman diangkat oleh Sultan Pajang menggantikan menjadi Adipati Wirasaba. Saya pun datang ke makam Adipati Warga Utama, di Pakiringan, yang sekarang masuk wilayah Klampok, Banjarnegara.
Saya merasa perlu datang ke makam Adipati Warga Utama, karena bermula dari kematiannya lah kemudian Wirasaba berakhir. Muncul kekuasaan baru oleh adipati Wirasaba yang baru, yang tidak mau menempati Wirasaba, melainkan memindahnya ke Kejawar. Wilayah baru yang sekarang dikenal dengan nama Banyumas.
Terbunuhnya Adipati Warga Utama adalah hasil dari laporan palsu anak laki-laki adiknya, Demang Toyareka, ke Pajang. Hingga Joko Tingkir menjatuhkan hukuman mati pada Adipati Wirasaba. Maka, saya pun melacak jejak Toyareka. Namun, di desa Toyareka saya tidak menemukan makam Demang Toyareka, ataupun anaknya, Bagus Sukra. Seolah kademangan itu hilang sejarahnya sejak tragedi pembunuhan Adipati Wirasaba terjadi. Persis yang terjadi dengan Kadipaten Wirasaba setelah pusat pemerintahan pindah ke Kejawar. Hilang tanpa bekas.
Karena keasyikan plesiran itu, saya jadi tertarik menuliskannya. Saya ingin berbagi pada para pembaca Babad Banyumas tentang tempat-tempat yang tercatat di dalamnya. Saya tulis perjalanan yang menarik itu. Kisah-kisah yang tidak ada dalam babad. Kisah yang saya dapatkan ketika menelusuri jejak babad.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan plesiran ke patilasan Babad Banyumas, saya kumpulkan tulisan itu. Tak terasa, ternyata sebanyak 80 tulisan!
Naskah 80 judul itu sekarang sudah terbit dalam 5 buku serial Berburu Babad Banyumas. Silahkan bagi para pembaca yang ingin mengikuti plesiran saya, bisa baca buku itu.
Kalau sudah, kita bisa Plesiran Babad Banyumas bareng. Yuk diagendakan!