Setelah mengisahkan tentang pernikahan Raden Bagus Mangun, Babad Banyumas kemudian menceritakan tentang mertuanya, Adipati Warga Utama.
Dikisahkan pada waktu itu, Sultan Pajang Joko Tingkir meminta pada adipati bawahannya untuk mengirimkan gadis-gadisnya. Dan, Adipati Wirasaba mengirimkan putri bungsunya.
Namun, hal itu menjadi masalah, karena sang putri sudah pernah menikah. Karenanya dianggap bukan gadis lagi. Dan itu menjadi kesalahan yang harus diterima akibatnya oleh sang adipati.
Joko Tingkir yang merasa dibohongi kemudian menjatuhkan hukuman mati. Dari kejadian itulah kemudian lahir 5 pantangan Adipati Wirasaba. Pantangan yang terus dikenang masyarakat Banyumas hingga hari ini.
Apa saja 5 pantangan itu?
Selengkapnya, silahkan baca tulis terjemahan saya atas naskah “Serat Babad Banyumas Mertadiredjan” di bawah ini.
Sengaja tidak saya sertakan naskah asli dalam bahasa Jawanya. Agar pembaca lebih bisa menikmati Babad Banyumas sebagai buku bacaan.
Selamat membaca.
Lima Pantangan Adipati Wirasaba
Raja pertama Kesultanan Demak, Raden Patah, sudah meninggal dan digantikan sang anak. Raden Pati Unus menjadi Sultan Demak kedua yang gagah perkasa memimpin kerajaan.
Waktu berlalu, Patih Unus pun digantikan oleh adiknya. Sultan Trenggono adalah raja Demak yang ketiga.
Waktu terus berganti. Sultan Trenggono kemudian digantikan oleh menantunya, Raden Joko Tingkir yang menjadi Sultan Demak. Kemudian takhta dipindah ke Pajang.
Ketika itu, dikisahkan sang raja, Raden Joko Tingkir, meminta para gadis-gadis dari para adipati bawahan. Semua memberikan putri-putrinya.
Ada yang menyerahkan anaknya. Mereka yang tak punya anak, menyerahkan saudaranya. Ada juga yang menyerahkan cucunya hingga keponakannya. Dipilihlah yang paling cantik wajahnya, yang dianggap pantas masuk dalam istana.
Mengulang yang sudah dikisahkan yakni tentang Adipati Warga Utama dari Kadipaten Wirasaba, empat anaknya. Anak yang sulung seorang perempuan, menikah dengan pemuda dari Kejawar, Bagus Mangun, anak Kyai Mranggi.
Sedangkan anak kedua, laki-laki, berdiam di wilayah Senon, bergelar Kyai Ageng Senon. Sedangkan adiknya lagi namanya Ngabehi Warga Wijaya, yang diharapkan kelak kemudian hari menggantikan ayahnya menjadi adipati Wirasaba.
Sedangkan anak bungsunya, seorang gadis yang cantik jelita. Dikisahkan sang putri kecantikannya tiada tara. Sangat hormat kepada kedua orang tuanya. Jauh dari memikirkan soal laki-laki. Namun demikian, sang putri cantik dipaksa oleh kedua orang tuanya untuk menikah dengan saudaranya sendiri, yakni anak dari adik sang adipati yang bernama Kyai Toyareka.
Namun sudah menjadi kehendak Yang Kuasa, perkawinan mereka mendapat masalah. Sang putri sangat tidak menyukai suaminya, hingga keduanya tidak pernah harmonis. Seolah tidak cinta pada suaminya. Hingga sedihkan hati kedua orang tuanya melihat anak mereka yang sudah menikah itu.
Tidak kurang nasehat telah diberikan, namun sang putri tetap tak mau berubah.
Hingga setengah bulan lebih sang putri cantik tak mau berkumpul dengan suaminya. Tetap kukuh dalam sikapnya menolak. Hingga putus asalah kedua orang tuanya. Maka kemudian diceraikanlah dengan terpaksa. Bercerai berdasar hukum agama.
Namun sang suami berat untuk menerimanya. Hanya karena takut dengan sang adipati. Padahal dalam hati masih sangat cinta. Hingga menderita batin luar biasa.
Belum benar-benar rela. Berharap masih ada harapan.
Sampai tiga bulan setelah cerai, datang perintah dari sang raja. Sultan Pajang meminta para putri. Maka kehendak Kyai Adipati, sang putri diberikan pada sang raja untuk masuk ke dalam istana.
Sepeninggal sang putri, dikisahkan suaminya itu saat mendengar kabar tentang istrinya diberikan pada sang raja, sangat sedih hatinya. Tak ada lagi yang bisa menghibur. Termasuk seluruh keluarga.
Hingga ia nekad menghadap ke Kesultanan Pajang. Meminta keadilan pada sang raja Lima orang dari Toyareka menemaninya.
Tak dikisahkan dalam perjalanan. Hingga sampailah sudah di Kesultanan Pajang. Langkahnya kemudian menuju ke alun-alun. Sampai di pohon beringin kembar kemudian berjemur matahari di bawahnya.
Ketika itu sultan sedang dihadap para punggawa di Sitinggil kerajaan. Kagetlah sang raja melihat ada orang tengah melakukan unjuk rasa. Enam orang berjemur di bawah beringin kurung. Semua menundukkan kepala ke tanah.
Sang raja berkata dalam hatinya, “Itu orang dari mana gerangan yang berjemur di bawah beringin?”
Sultan Pajang kemudian memerintahkan prajurit untuk memeriksa mereka. Ada persoalan apa mereka. Prajurit pun menyembah dan segera berangkat.
Sampailah para prajurit di bawah beringin kembar. Mereka memeriksa orang yang sedang berjemur di sana. Melaksanakan perintah sang raja.
Mereka bertanya, “Maksudnya apa kalian melakukan berjemur di bawah beringin kurung?”
Jawab mereka yang diperiksa, “Kami meminta keadilan kepada paduka raja kami. Perkara istri saya yang sekarang diserahkan pada sang raja oleh mertua saya, Adipati Wirasaba. Karenanya saya meminta keadilan.”
Setelah mendapat jawaban itu para prajurit melaporkan pada sang raja.
“Paduka, hamba sudah melakukan pemeriksaan. Rakyat Paduka yang berjemur di beringin kurung meminta keadilan pada Paduka. Persoalan istrinya, Paduka, yang dijadikan putri persembahan Adipati Wirasaba, Paduka.”
Saat sang raja mendengar itu marahnya tidak terkirakan. Terlihat dari merah wajahnya. Tergambar juga dari tajamnya sorot mata. Terbaca juga dari getaran bibirnya.
Memang sudah takdir Yang Kuasa. Adipati Warga Utama akan menemui ajalnya. Dibunuh oleh sang raja karena gelap pikirannya terburu oleh amarah. Hingga tidak teliti lebih dulu kebenarannya. Tentang anak gadis yang jadi masalahnya.
Sang sultan keras berkata, “Para prajurit, susul kepulangannya segera si keparat yang sudah pulang itu, Adipati Wirasaba. Di manapun bisa terkejar, langsung bunuh saja!”
Tiga orang prajurit memberikan sembah. Kemudian berangkat menunggang kuda.
Sang sultan masuk ke dalam istana. Kemudian memanggil putri persembahan yang dikirim dari Kadipaten Wirasaba.
Setelah sampai di hadapan, bertanyalah sang raja, “Wahai, gadis Wirasaba, saya bertanya. Jawablah yang sebenarnya. Apakah kamu sudah punya suami?”
Sang putri menjawab pertanyaan sang raja, “Sesungguhnya, Paduka raja, inilah saya seutuhnya, yang sebenarnya saya tidak punya suami. Bahwa dulu memang pernah menikah. Namun karena perintah ayah saya. Menikah dengan orang Toyareka. Tetapi hamba tidak suka kepadanya, hingga belum pernah sampai berhubungan dengan suami saya itu. Sekalipun, hamba tak pernah mau. Akhirnya saya diceraikan oleh ayah saya dengan suami saya. Suami saya pun menuruti keputusan itu. Sudah tiga bulan yang silam. Sekarang saya ini dipersembahkan pada sang raja, maka sekarang sudah empat bulan kalau dihitung sejak dulu kami bercerai.”
Sang raja menyimak dengan seksama penjelasan itu. Kagetlah dibuatnya.
Setelah mendengar penjelasan sang putri, sangat menyesal dengan keputusan sebelumnya. Dengan segera dipanggil tiga prajurit menghadap kepadanya.
Dan berkatalah sang raja, “Wahai, kalian para prajurit, segeralah susul temanmu yang tadi berangkat. Para prajurit yang saya perintahkan untuk membunuh Adipati Wirasaba. Sampai di mana pun kalian bertemu, kalian perintahkan untuk membatalkan. Jangan sampai ia dibunuh. Karena Adipati Wirasaba tidak bersalah.”
Tiga prajurit kemudian langsung berangkat. Menyusul prajurit yang sebelumnya berangkat. Jalannya cepat sekali.
Sementara itu, sang Adipati Wirasaba sedang dalam perjalanan pulang. Karena punya saudara, Kyai Angger di desa Bener, maka disinggahinya.
Ketika itu mereka tengah duduk di Bale Malang. Adipati Wirasaba dijamu nasi dengan lauk Pindang Angsa. Betapa nikmat mereka makan bersama.
Ketika baru makan habis setengah, datanglah tiga orang prajurit yang pertama. Turun dari atas kudanya. Segera menghadap sang adipati. Para prajurit berdiri di depannya hendak menyampaikan perintah dari sang sultan.
Namun mereka tidak enak hati, karena sang adipati sedang makan. Hingga ditunggu sampai selesai makan.
Akan tetapi, karena penasaran sang adipati bertanya,”Ada perintah apakah dari Kanjeng Sultan?”
Tiga prajuit itu menjawab, “Silahkan diselesaikan saja dulu makannya, Gusti Adipati. Memang ada perintah yang akan disampaikan. Namun nanti saja kalau sudah selesai makan.”
Sementara itu, para prajurit yang menyusul, yang diperintahkan untuk membatalkan perintah membunuh sampai di Bener. Tidak jauh jaraknya dari tempat itu.
Tiga orang prajurit yang pertama melihat kedatangan prajurit yang datang kemudian, berdiri di depan Adipati Wirasaba. Melihat tiga prajurit yang menyusulnya melambaikan tangan padanya.
“Kalian, para prajurit mundur . Perintah sang raja sudah dibatalkan!”
Tergagap mereka berkata-kata. Hingga yang diberi pesan malah tidak paham.
Prajurit terdahulu justru terkejut melihat ada prajurit susulan yang datang, hingga bertanyalah dalam hati, “Mengapa mereka melambaikan tangan? Apakah maksudnya untuk segera membunuh sang adipati?”
Memang sudah kehendak Yang Maha Besar. Mereka yang diberi pesan tidak menangkapnya. Hingga ketiga prajurit itu kemudian mengepung sang Adipati Wirasaba sambil masing-masing menarik kerisnya. Dengan bersamaan ditusukkan pada sang adipati. Ditikam tepat pada dadanya.
Kagetlah para prajurit yang menyusul melihat pembunuhan itu.
Melihat sang adipati telah tertikam keris, semakin kencang mereka memacu kudanya.
Setelah berhadapan, dengan keras mereka bertanya, “Hai, kalian, mengapa bertindak demikian itu? Membunuh sang adipati? Padahal kedatangan kami ini diperintahkan oleh sang Sultan untuk membatalkan pembunuhan. Kyai Adipati tidak ada kesalahannya. Hanya karena sang Sultan tergesa-gesa mengambil hukuman. Tidak meneliti masalah lebih dulu. Itulah mengapa kami tadi melambaikan tangan pada kalian!”
Prajurit yang datang pertama menjawab, “Saya tidak paham maksudnya. Maka saat saya kalian melambaikan tangan saya kira justru untuk segera melakukan pembunuhan. Hingga dengan cepat kami lakukan membunuh sang adipati.”
Para prajurit yang datang belakangan bertanya, “Lalu sekarang bagaimana ini?
Semua sudah terlanjur terjadi. Apa yang akan disampaikan pada sang Sultan?”
Pada waktu itu sang Adipati Wirasaba belum sampai meninggal. Masih bisa mendengar para prajurit saling berdebat.
Dengan pelan ia berkata, “Sudahlah, jangan kalian saling menyalahkan. Jangan saling berdebat. Kalian, para prajurit semua kembalilah bersatu. Jangan saling menyalahkan begitu. Nanti malah celaka semuanya.”
Dengan kata-kata yang terputus-putus Kyai Adipati berkata, “Wahai, para prajurit semuanya. Sekarang dimusyawarahkan saja. Jangan lagi bertengkar begitu. Katakanlah bahwa semua sudah terlanjur. Jika bersatu maka akan selamat. Adapun keadaan saya ini, sudah menerima kehendak Yang Maha Besar. Bahwa saya dipanggil menghadap Sultan hanya sebagai jalan saja. Tidak bisa berubah bila sudah menjadi ketentuan,”
Pada waktu itu, sang adipati berkata kepada para pengiringnya, “Kalian saksikanlah semua bahwa kelak setelah saya tidak ada, seluruh keturunanku jangan pernah mengambil menantu orang dari Toyareka. Juga jangan pernah menaiki kuda berambut merah kelabu. Ingat-ingatlah pesan saya ini. Dan juga jangan pernah menggunakan Bale Malang. Juga jangan kalian makan Pindang Angsa. Setelah saya meninggal, jangan pernah bepergian pada hari pasaran Pahing. Tolong perhatikan pesan ini dengan seksama.”
Setelah berpesan demikian sang adipati kemudian meninggal dunia. Seluruh keluarga menangisinya. Bersujud di kakinya. Suara tangisan terdengar bersahutan.
Kemudian diceritakan kuda sang adipati, yang berbulu merah kelabu, mengetahui tuannya meninggal, memberontak melepaskan tali kekang yang terikat di tambatan hingga lepas. Lalu berlari kencang sekali. Pengasuhnya tak bisa menyusul. Bagaikan seorang manusia, dia bermaksud memberi kabar duka, bahwa tuannya sudah meninggal dunia dalam perjalanan.
Pengasuhnya tak berhenti mengejarnya. Langkah sang kuda sudah sampai di Kadipaten Wirasaba. Kemudian masuk ke dalam kandangnya, hingga membuat kaget semua orang.
Melihat kuda tunggangan adipati pulang sendiri, mereka menduga telah terjadi suatu kecelakaan. Apalagi tak berapa lama kemudiang pengasuh kudanya menyusul. Begitu kencang larinya menyusul.
Setelah ditanya oleh Nyai Adipati, diceritakan semua yang terjadi. Dari awal hingga akhir. Bahwa kematian sang Adipati bermula dari masalah sang putri.
Setelah Nyai Adipati mendengar kabar itu, keras tangisnya menjerit hingga pingsan. Terharu semua yang melihatnya. Ratapannya begitu memilukan. Suara tangis terus bersahutan.
Mantab banget kang historis ilmiah dan mengedukasi masyarakat terutama kaum milenial tahu tentang sejarah dan peradaban lokal …. Sukses slalu kang NasiRun PurwOkartun