Setelah mengisahkan Nabi Adam dan Prabu Jayabaya, “Serat Babad Banyumas” kemudian menceritakan tentang para penguasa Tanah Jawa.
Bermula dari Raja Jenggala yang kemudian menurunkan raja-raja Galuh di kerajaan Pajajaran. Bahwa dari sosok legendaris Raden Panji Asmarabangun, kemudian menurunkan Raden Laleyan.
Dari Raden Laleyan inilah kisah bermula. Karena sebuah bencana membuatnya harus pindah kekuasaan. Maka, di Galuhlah ia melanjutkan kekuasaan dengan menjadi menantu Raja Galuh.
Dari Kerajaan Galuh mala lahirlah Munding Sari. Dari Munding Sari lahirlah Munding Wangi. Kemudian dari Munding Wangi lahirlah Raja Pajajaran yang sangat terkenal, Prabu Silih Wangi.
Prabu Silih Wangi lah yang kemudian menurunkan beberapa anak. Anak pertama adalah yang menjadi penguasa Laut Selatan.
Dalam Babad Banyumas dituliskan:
“Pambayun miyos pawestri, warnanira yu luwih, sang Dyah martapa ing gunung, tapa ing Gunung Kumbang. Wus gentur amati ragi, pan katrima sang ayu subratanira, winonwong Hyang Jagad Nata, dadya ratuning dhedhemit, angalih karatonira, samodra kidul linuwih.”
“Anak sulung perempuan, cantik rupawan wajahnya. Sang Putri suka bertapa di gunung, bertempat di Gunung Kumbang. Sudah kuat mematikan raga hingga diterima bertapanya. Dilindungi oleh Sang Penguasa Semesta menjadi rajanya para makhluk halus. Berpindah kerajaannya, Laut Selatan tempatnya.”
Bahkan, yang menarik, dari naskah “Serat Babad Banyumas” ini, keturunan Prabu Silih Wangi juga yang menjadi leluhur orang Belanda.
“Rinya malih kang winuwus, nenggih samya wanodya, nandhang cintraka dewi. Gerah budhug wus tan kena ingusadan. Binuwang marang kang rama, ing Pulo Udrus ing nguni. Pinupu nangkoda Holan, ingusadan sang adewi, waluya kang sesakit. Ingambil garwa sang ayu, lajeng binekta layar, mantuk mring nagri Walandi. Saturune pan dadi bangsa Walanda.”
“Adiknya yang kemudian diceritakan. Seorang perempuan juga, namun menderita penyakit dia. Sakit kulit yang tak lagi bisa terobati. Dibuang dia oleh sang ayah di Pulau Idrus. Dipungut oleh pelaut Belanda, diobatilah sang dewi. Lalu diambil menjadi istri, kemudian dibawa berlayar pulang ke Negeri Belanda. Keturunannya pun menjadi bangsa Belanda.”
Untuk selanjutnya, saya tulis terjemahan saya atas naskah “Serat Babad Banyumas Mertadiredjan”.
Sengaja tidak saya sertakan naskah asli dalam bahasa Jawanya. Agar pembaca lebih bisa menikmati Babad Banyumas sebagai buku bacaan.
Selamat membaca.
Dari Jenggala Ke Pajajaran
Sang raja Jenggala ketika itu sudah berputra. Banyak jumlah anak sang raja.
Anak yang menggantikan takhta sang ayah adalah Raden Panji Asmarabangun atau Raden Panji Rawisrengga.
Kala itu Rawisrengga sudah berputra bernama Raden Laleyan. Sang anak kemudian menggantikan sang ayah menjadi raja di Jenggala.
Tak lama menjadi raja ia mendapat cobaan dari Sang Maha Kuasa. Sebuah bencana besar datang. Gunung-gunung runtuh, hujan salah musim datang, bergantian gerhana bulan dan matahari.
Wabah penyakit datang besar-besaran. Banyak orang yang menderita sakit. Rakyat yang mati tak terbilang jumlahnya. Tak lagi bisa diobati.
Sang Raja kemudian bertapa, meminta petunjuk Yang Kuasa. Hingga kemudian terdengar suara agar ia memindahkan kerajaannya.
Seorang penasehatnya, yang selama ini menjadi pengasuh sang raja, Ki Prasanta, dipanggil segera menghadnya.
Sang raja kemudian bercerita tentang alasan memanggilnya. Yaitu karena sang raja akan berkeliling bumi.
Sang raja kemudian berpesan pada Ki Prasanta agar mengajak Ki Prajodeh.
Prasanta sedih mendengarnya. Sang raja pun ditangisinya. Kemudian berkata, “Bagaimana ini wahai sang raja? Paduka akan meninggalkan istana? Akan pergi ke mana saja, hidup mati saya turut serta….”
Sang raja menjawab, “Sekarang ayo kita berangkat. Jangan ragu-ragu melangkah lagi. Sudah wajar kebahagiaan bermula kesengsaraan.”
Ki Jodeh dan Ki Prasanta mengiring di belakang sang raja Jenggala.
Mereka pergi sudah setengah bulan lamanya.
Alkisah singkat cerita, sampailah mereka di Kerajaan Galuh.
Karena tergoda seorang perempuan, Putri Galuh yang sangat cantik, yang kemudian dijadikan istri. Perempuan yang sangat mempesona.
Dikisahkan sang raja Jenggala kemudian berputra. Munding Sari namanya.
Mundingsari naik takhta menjadi raja, beribukota di Pajajaran. Kala itu sudah berputra bernama Munding Wangi.
Munding Wangi kemudian menggantikan kedudukan ayahnya bertakhta di Pajajaran. Munding Wangi juga sudah berputra, seorang pemuda tampan dan bersahaja bernama Silih Wangi.
Silih Wangi kemudian menggantikan sang ayah menjadi raja. Banyak jumlah anaknya.
Anak sulung perempuan, cantik rupawan wajahnya. Sang Putri suka bertapa di gunung, bertempat di Gunung Kumbang. Sudah kuat mematikan raga hingga diterima bertapanya. Dilindungi oleh Sang Penguasa Semesta menjadi rajanya para makhluk halus. Berpindah kerajaannya, Laut Selatan tempatnya.
Adiknya, seorang perempuan juga, namun menderita penyakit kulit yang tak lagi bisa terobati. Hingga dibuang oleh sang ayah ke Pulau Idrus. Lalu dipungut oleh pelaut Belanda.
Diobatilah sang dewi, lalu diambil menjadi istri. Kemudian dibawa berlayar pulang ke Negeri Belanda. Keturunannya pun menjadi bangsa Belanda