Kok bisa habis nulis novel Penangsang kemudian belok ke Babad Banyumas?
Padahal novel Penangsang setting-nya pusat kekuasan Jawa, dari Demak sampai Pajang, sesuatu yang saya suka pelajari konfliknya. Sementara Babad Banyumas hanyalah kisah dari pinggiran, yang konfliknya tidak akan mempengaruhi kekuasaan di Jawa.
Kisah Penangsang juga jelas berlatar belakang Islam Jawa, sesuatu yang membuat saya tertarik menuliskannya. Babad Banyumas belum jelas latarnya apa. Beda dengan Babad Pasirluhur, meski sama-sama dari wilayah Banyumas, tapi jelas islamnya, karena ada kaitan dengan Demak dan Walisanga.
Namun, karena tidak jelas itulah, saya malah jadi penasaran.
Maka, setelah hampir 20 tahun meneliti (atau tepatnya belajar memahami) Penangsang, sekarang saya niatkan diri mengaji (semacam mengkaji) Babad Banyumas. Entah untuk berapa tahun ke depan.
Dulu, ketika saya menulis novel Penangsang, saya sudah merancang kelanjutannya. Bahwa saya akan fokus menulis kisah yang berlatar Islam Jawa saja.
Kisah yang bermula dari datangnya ulama ke Jawa pada masa Majapahit, kemudian berdirinya Demak, dilanjutkan berdirinya Pajang, diteruskan berdirinya Mataram, diakhiri runtuhnya Mataram.
Saya sudah merancang 25 tema dalam rentang 5 kekuasaan itu.
Pada masa Kerajaan Majapahit, tentang bagaimana perjuangan para ulama membumikan Islam, saya merancang 5 buku.
Pada masa Kesultanan Demak, ketika ulama memikirkan kekuasaan, saya merancang 3 buku.
Pada masa Kesultanan Pajang, ketika ulama mulai tersingkir dari kekuasaan, saya merancang 2 buku.
Pada masa Kerajaan Mataram, ketika ulama mulai berkonflik dengan kekuasaan, saya merancang 15 buku.
Khusus untuk periode Mataram, dari berdiri hingga runtuhnya, saya mengikuti alur yang sudah disusun De Graaf. Kisah “Paket Javanologi” yang meliputi awal kebangkitan Mataram pada masa Senopati, puncak kekuasaan Mataram pada masa Sultan Agung, dan keruntuhan Mataram pada masa Amangkurat I.
Untuk periode itu saya merancang 8 buku.
Seterusnya adalah periode Mataram dari masa Amangkurat II sampai Paku Buwono II. Dilanjutkan dengan pecahnya Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta.
Akhir dari kisah panjang yang akan saya tulis adalah masa perang Diponegoro, ketika kedua kekuasaan pewaris Mataram hanya menjadi kaki tangan penjajah.
Untuk periode itu saya merancang 7 buku.
Namun, setelah selesai menulis Penangsang, saya justru tergoda membuka Babad Banyumas.
Pada waktu menulis Penangsang jilid 4, “Lukisan Sembilan Cahaya”, saya mulai berburu Babad Banyumas. Waktu itu saya sudah pulang kampung, kembali ke Banyumas setelah 15 tahun di Solo. Karena saya ingin belajar babad sejarah tanah kelahiran maka saya berburu ke mana saja.
Saya datang ke teman penulis, budayawan, dan seniman yang saya kenal. Namun hasilnya nihil. Semua mengaku tidak punya bukunya. Kalopun ada, hanya saduran saja yang sudah dikembangkan oleh penulisnya. Sementara saya menginginkan Babad Banyumas yang asli, yang orisinil, sebelum dijadikan buku yang isinya sudah diubah dan ditambah.
Saya pun kemudian mencarinya ke perpustakaan-perpustakaan. Dari perpustakaan sekolah, perpustakaan kampus, hingga perpustakaan daerah. Tapi hasilnya sama. Tidak saya dapatkan Babad Banyumas.
Bermula dari situlah kemudian saya jadi penasaran. Saya jadi berburu lebih semangat.
Setelah empat tahun pencarian, akhirnya mendapatkan beberapa naskahnya. Maka saya masukkan kisah tragis Sabtu Pahing dalam novel Penangsang jilid 5, “Sabda Kasih Sayang”. Karena novel jilid itu membahas tentang kekuasaan Joko Tingkir. Sementara kisah tragis yang menimpa Adipati Wirasaba, yang menjadi awal mula Banyumas, terjadi pada masa Sultan Pajang itu berkuasa.
Setelah novel Penangsang terakhir selesai ditulis, saya kemudian menceburkan diri dalam Babad Banyumas. Saya asyik menerjemahkan dua versi Babad Banyumas, versi Mertadirdjan dan Wirjaatmadjan.
Maka, kalau ada yang bertanya, kok bisa dari Penangsang belok ke Babad Banyumas, alasannya adalah dua hal itu.
Satu, karena saya sudah pulang dari Solo ke Banyumas. Ketika di Solo, saya berkutat dengan Penangsang dan Joko Tingkir, karena Pengging dan Pajang berada di Solo. Setelah di Banyumas saya bergelut dengan Babad Banyumas.
Kedua, karena Babad Banyumas sulit ditemukan di tanah kelahirannya. Maka saya terpanggil untuk membuatnya ada. Agar orang lain tidak kesulitan lagi mendapatkannya. Juga lebih mudah membacanya karena sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.