Nama Wirasaba sudah saya dengar sejak belia. Sejak pertama menyaksikan ketoprak tobong dengan lakon “Geger Wirasaba” yang dilanjut “Jaka Kaiman Winisuda”.
Dulu, dua lakon itu digelar bergantian di balai desa kampungku. Hari pertama “Geger Wirasaba” yang mengisahkan kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama I. Hari kedua “Jaka Kaiman Winisuda” yang mengisahkan Jaka Kaiman diangkat menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Warga Utama II.
Lama mengendap dalam ingatan nama Wirasaba itu. Namun sampai usia dewasa saya tak pernah tahu di mana letaknya. Mungkin karena parahnya kuper saya. Hanya lamat-lamat dengar orang bilang kalau Wirasaba di Kabupaten Purbalingga. Tapi daerah mana, tidak tahu juga.
Padahal Wirasaba adalah asal mula adanya Banyumas. Wilayah penting dalam kekuasaan di Jawa sejak jaman Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Maka semua naskah Babad Banyumas memulai kisahnya dengan keberadaan Wirasaba.
Ing Wirasaba ngriku wonten bupatinipun ajejuluk Adipati Paguwan utawi Wira Utama. Di Wirasaba adipatinya bernama Adipati Paguwan dengan gelarnya Adipati Wira Hutama.
Begitulah Wirasaba pertama disebut dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan.
Urutan adipatinya berbeda dengan yang tertulis dalam Babad Banyumas Mertadiredjan. Dalam Babad Banyumas Mertadiredjan, Raden Katuhu diangkat anak oleh Adipati Wirasaba yang bernama Adipati Wira Hutama II, yakni Raden Surawin. Sementara dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan, yang mengangkat anak adalah Adipati Wirasaba pertama, yakni Raden Paguwan atau Adipati Wira Hudaya.
Karena kesaktiannya Raden Katuhu diangkat anak oleh Adipati Wira Hutama II. Karena kesetiaannya lalu diambil menantu, dinikahkan dengan putri tunggalnya, Rara Mukatimah. Akhirnya, menjadi penggantinya sebagai Adipati Wirasaba dengan gelar Marga Utama.
Babad Banyumas Wirjaatmadjan menceritakan secara berturut-turut yang menjadi adipati Wirasaba adalah keturunan Katuhu. Setelah Raden Katuhu meninggal, yang menggantikan adalah anaknya, Raden Urang, bergelar Wira Utama II. Setelah Raden Urang meninggal, digantikan oleh anaknya, Raden Surawin, bergelar Wira Utama III.
Setelah Raden Surawin meninggal yang menggantikan adalah anaknya, Raden Tambangan, bergelar Sura Utama. Setelah Raden Tambangan meninggal digantikan anaknya, Raden Suwarga, dengan gelar Warga Utama.
Adipati Warga Utama inilah yang kisah kematiannya diangkat dalam lakon ketoprak “Geger Wirasaba”. Kisah salah paham dalam keputusan Joko Tingkir hingga Adipati Warga Utama harus mati terbunuh tanpa kesalahan.
Setelah Warga Utama meninggal, yang menggantikan bukan anaknya, melainkan menantunya, yakni Raden Jaka Kaiman. Demi menghormati mertuanya, gelarnya sama, Warga Utama II. Peristiwa inilah yang diangkat dalam lakon ketoprak “Jaka Kaiman Winisuda”.
Gelar yang sama untuk melanjutkan dalam khazanah Jawa disebut dengan nunggak semi. Sebuah lambang dari akar yang sudah ditebang pohonnya, bersemi kembali bagian batangnya. Semacam menghidupkan kembali atau penerusan generasi. Jaka Kaiman memakai gelar yang sama dengan mertuanya sebagai usaha bahwa dia berhak atas takhta Wirasaba. Bahwa pada hakikatnya meski hanya menantu, namun tidak ada perbedaan, karena memakai gelar yang sama.
Hanya saja, setelah dilantik menjadi Adipati Wirasaba, Jaka Kaiman tidak berkenan menempati Wirasaba. Alasan klasik Jawa adalah karena adipati sebelumnya sudah terbunuh, maka agar Wirasaba terus jaya kadipaten harus dipindah.
Sementara bekas Kadipaten Wirasaba diberikan pada iparnya. Adik istrinya, yang bernama Raden Warga Wijaya. Anak laki-laki yang memang sejak semula disiapkan sang ayah menjadi penggantinya. Namun hal itu tidak terjadi, karena tidak berani datang ke Pajang setelah kematian ayahnya.
Sementara Jaka Kaiman, yang hanya menantu, justru berani menghadap pada Joko Tingkir. Karena keberaniannya itulah Jaka Kaiman dilantik menjadi Adipati Wirasaba.
Pada masanya, dulu kala, 500-an tahun lalu Wirasaba adalah sebuah kadipaten besar, membentang luas wilayahnya. Dalam Babad Banyumas Meradiredjan tertulis batas sebelah timur adalah Gunung Sumbing dan batas sebelah barat adalah Karawang. Mangetane ardi Sumbing, kang kulon wangkid Karawang.
Batas timur Gunung Sumbing adalah wilayah yang sekarang membentang mencakup Kabupaten Magelang, Temanggung, dan Wonosobo. Sementara batas baratnya adalah Karawang yang sekarang menjadi Kabupaten Karawang di Jawa Barat. Wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Bogor, Bekasi, Subang, Purwakarta, dan Cianjur.
Betapa luas wilayah Wirasaba sebagai kadipaten paling barat dari kekuasaan Majapahit pada masanya.
Namun, setelah pemerintahan pindah ke Kejawar, mereduplah nama Wirasaba. Bahkan, ketika Kadipaten Banyumas semakin maju, Wirasaba justru tenggelam.
Hingga Babad Banyumas Wirjaatmadjan menuturkan, Wirasaba sampun boten kacariyos malih awit lajeng namung dados padusunan kewamon. Sementara nama Kadipaten Wirasaba sudah tidak dikenal lagi. Karena hanya menjadi sebuah desa kecil saja.
Sebuah kekuasaan yang besar, yang telah berkuasa selama 105 tahun (1466-1571) dengan kepemimpinan 6 adipati, akhirnya lenyap dari sejarah.
Karena saya sedang belajar Babad Banyumas maka saya melacak keberadaannya.
Dari hasil pencarian di Google saya dapatkan kunci bahwa desa Wirasaba berada di Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga. Saya pun segera meluncur ke sana. Tidak sulit dicari. Tak jauh dari Klampok, Banjarnegara, letaknya.
Saya pun berkeliling ke seluruh desa Wirasaba. Mencari tokoh yang bisa di tanya, di manakan letak bekas Kadipaten Wirasaba. Namun tidak satupun yang bisa menjawab. Juga juru kunci makam para adipati Wirasaba.
Juru kunci itu kemudian memberitahu saya tentang tokoh Wirasaba yang memiliki Babad Wirasaba, yakni Mad Marta. Babad yang disalin oleh pamannya, yaitu Mulyareja, pada tahun 1956. Menurut penelitian Prof. Sugeng Priyadi, dalam buku “Banyumas, Antara Jawa dan Sunda”, babad itu menuliskan tentang silsilah Raden Katuhu sampai Tumenggung Yudanegara. Beliau bertemu Mad Marta pada tahun 1990. Berhasil mengkopi dan mengoleksinya. Menurut beliau, naskahnya berjudul ‘Sejarah Wirasaba’ bukan Babad Wirasaba seperti yang dikatakan juru kunci makam.
Saya datang dan bertemu dengan Mad Marta pada tahun 2020. Kondisinya sudah pikun, dan setiap saat berbicara sendiri. Hingga ketika saya ketuk pintu rumahnya, saya mendengar orang sedang mengobrol. Saya kira di dalam ada dua orang yang tengah saling berbincang. Lama saya tunggu, tak ada yang membukakan pintu.
Sampai tiga kali saya ketuk, tidak juga dibukakan. Sementara orang di dalam masih terdengar asyik berbincang. Saya sudah hampir pulang, karena tidak ada jawaban. Saat hendak membalik badan, pintu dibuka oleh seorang perempuan. Ternyata cucunya Mad Marta. Kemudian dipanggilkan ibunya, anak perempuan Mad Marta. Kami pun berbincang di ruang tamu.
Dari sang anak lah saya tahu keadaan Mad Marta sekarang. Yang setiap hari berbicara sendiri, seperti tengah ngobrol. Hingga tidak mungkin saya tanya tentang apapun, baik tentang babad maupun tentang letak Kadipaten Wirasaba. Karena ingatannya sudah lemah, bahkan hilang.
Menurut Prof. Sugeng Priyadi, dalam bukunya, “Hari Jadi Kabupaten Banjarnegara”, Mad Marta menyimpan naskah Sejarah Wirasaba salinan Mulyareja, sebagai trah Wirasaba. Mulyareja adalah keturunan keenam Ngabehi Wirasaba. Ayah Mulyareja bernama Mulyadikrama. Mulyadikrama anak dari Wiratirtani. Wiratirtani adak dari Wiracandra. Wiracandra anak dari Wirapada. Wirapada anak dari Wiramantri. Wiramantri adalah Ngabehi Wirasaba, karena menikah dengan anak perempuan Bupati Banyumas, Yudanegara II.
Ketika saya tanya tentang naskah Sejarah Wirasaba tersebut, anak Mad Marta mengatakan bukunya sudah lama dipinjam oleh Dinas Arpusda Kabupaten Purbalingga, namun belum kembali. Jadi walaupun saya bisa bertemu Mad Marta, namun tidak bisa melihat naskah aslinya.
Akan tetapi, pada waktu Pameran Arpusda se Jawa Tengah, kebetulan saya jadi pembicara, saya sempatkan mampir ke stand Arpusda Kabupaten Purbalingga. Atas kebaikan mereka, saya bisa mendapatkan bukunya. Buku Sejarah Wirasaba yang sudah dicetak. Hasil dari pelatinan naskah yang aslinya berhuruf Jawa. Judulnya “Turunan Sejarah Wirasaba”. Sayang, nama sang penyalin dan penyimpannya, yakni Mulyareja dan Mad Marta, sama sekali tak disebut dalam buku.
Setelah tiga kali datang dan tidak menemukan Kadipaten Wirasaba, saya cukupkan pencarian. Saya cukupkan dengan memiliki buku Sejarah Wirasaba saja.