“Katjarijos Ki Dipati Marapat boten kersa dedalem ing Wirasaba. Kersanipoen bade dedalem ing pasiten telatah doesoen Kedjawar. Wonten ing pinggiripoen kidul lepen Serajoe, kaprenah saeler kilenipoen doesoen Kejjawar. Kaleres wetanipoen celak kaliyan tempoeripun lepen Pasinggangan lan lepen Banjoemas.”
“Dikisahkan Adipati Mrapat tidak mau bertempat tinggal di Wirasaba. Berkeinginan membangun tempat yang baru di wilayah desa Kejawar. Berada di pinggir selatan Sungai Serayu, di sebelah barat laut desa Kejawar. Tepat di sebelah timurnya adalah pertemuan Sungai Pasinggangan dan Sungai Banyumas.”
Begitulah keterangan tentang tempat yang akan dijadikan pusat kota Banyumas seperti yang tercatat dalam Babad Banyumas Wirjaatmadjan.
Pertama, berada di sebelah selatan Sungai Serayu. Kedua, di sebelah barat laut desa Kejawar. Ketiga, pada pertemuan dua sungai, Sungai Pasinggangan dan Sungai Banyumas.
Dalam keyakinan masyarakat Jawa, pertemuan dua sungai adalah tempat yang magis dan mengandung kekeramatan. Mungkin karena itu juga tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan Banyumas berada pada pertemuan dua sungai.
Maka, dalam cerita rakyat kemudian dikisahkan Adipati Mrapat pun mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk itu.
Bahwa setelah rombongan dari Wirasaba mendarat di Kedunguter kemudian membangun pesanggrahan. Setelah itu lalu berkunjung ke Kejawar, meminta doa restu pada kedua orang tua asuhnya, Kyai Mranggi dan Nyai Mranggi. Kelak, dalam Babad Banyumas Mertadiredjan dicatat bahwa merekalah yang menyediakan kebutuhan makan bagi para pekerja yang membangun kota barunya.
“Samana kang asoeng bekti, Kjai Mranggi ing Kedjawar, asoeng boga sadinane, mring wadya kang namboet karja….’
“Ketika itu yang membantu adalah Kyai Mranggi Kejawar, mengirimkan makanan setiap harinya, untuk makan para pekerja yang sedang bekerja….”
Setelah dari Kejawar kemudian sang adipati menyisir rawa Tembelang, berjalan di tepiannya, hingga akhirnya menemukan Sungai Banyumas. Lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang mengarah ke utara, berbelok ke barat daya, lalu berbelok lagi ke arah barat laut. Diikuti terus hingga bertemulah dengan sungai yang lebih besar, yaitu Sungai Pasinggangan.
Pada pertemuan dua sungai itulah kemudian Adipati Mrapat membangun pusat pemerintahannya. Sebuah kota baru yang dibangun di tempat yang baru.
“Kota yang dibangun oleh Adipati Mrapat diperkirakan meliputi daerah yang dikelilingi Sungai Pasinggangan di sebelah selatan, Sungai Banyumas di sebelah tenggara, timur, dan utara, serta Sungai Perwaton di sebelah barat.”
Begitu keterangan letak kota Banyumas yang saya baca dalam buku Sejarah Kota Banyumas karya Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum. Sebuah perkiraan yang didasarkan pada keberadaan makam-makam yang masih ditemukan sekarang, yang bisa menjadi penanda bahwa dulunya adalah sebuah perkampungan kuna.
Sungai Banyumas adalah sungai yang bermata air dari Sumur Mas. Mengalir ke arah utara, melewati jalan depan Masjid Agung Nur Sulaiman sekarang. Kemudian ke arah jalan desa Pakunden di sebelah selatan Kaligawe, lalu berbelok ke barat laut di dusun Karangturi. Hingga bertemulah dengan Sungai Pasinggangan di tempat yang sekarang masuk wilayah desa Pakunden bagian barat.
Letak pertemuan tersebut ada pada sebuah kelokan sungai Pasinggangan yang mengalir ke utara. Sekarang tempat itu berada di belakang rumah penduduk. Namun bekas aliran sungai Banyumas sudah tidak ada, tertutup tanah dan menjadi pemukiman yang padat.
Keberadaan pertemuan dua sungai tersebut sudah tidak ada bekasnya. Hanya menyisakan sungai Pasinggangan yang mengalir ke utara. Namun, karena Sungai Banyumas yang asli sudah hilang, orang justru mengenali Sungai Banyumas adalah aliran sungai setelah pertemuan sungai tersebut. Hingga Sungai Pasingganan yang lebih besar justru menjadi anak Sungai Banyumas.