“Kalau ada buku yang ingin kamu baca, tapi kamu tidak menemukannya, maka kamulah yang harus menuliskannya.”
Begitulah ungkapan yang pernah saya dengar. Begitu pula yang kemudian saya lakukan dengan Babad Banyumas.
Karena hampir 5 tahun tidak menemukan buku Babad Banyumas, maka begitu menemukan saya langsung menerjemahkannya.
Sepanjang 5 tahun itu, saya hanya menemukan buku-buku saduran dari Babad Banyumas. Buku-buku cetakan lama, yang tentu saja sudah tidak bisa ditemukan di toko buku. Saya dapatkan dari toko buku loak di lapak online. Buku yang menuliskan Babad Banyumas menjadi rujukannya. Buku yang pada daftar pustaka menyebutkan nama Babad Banyumas.
Namun, hanya buku bacaan itulah yang saya dapatkan. Saya tidak mendapatkan naskah aslinya, baik yang masih pakai huruf Jawa, maupun yang sudah dilatinkan.
Saya merasa Babad Banyumas adalah sumber penting untuk mengkaji sejarah Banyumas. Namun bukunya sulit didapatkan. Tidak ditemukan di manapun, baik di perpustakaan maupun toko buku.
Setelah mendapatkan bukunya, ternyata ceritanya dalam tembang Macapat. Waduh! Wong membaca bahasa Jawa saja sulit, masih harus mengeja tembang.
Hanya saja kebetulan buku Babad Banyumas yang saya dapatkan sudah dialihaksarakan. Sudah dilatinkan dari buku aslinya yang memakai huruf Jawa.
Namun, meski sudah dilatinkan, bagi beberapa orang yang sudah tidak akrab dengan bahasa Jawa, tetap kesulitan memahaminya. Karena bahasa tembang adalah bahasa puisi.
Kita tahu, bahasa puisi yang sastrawi kadang menggunakan kata yang bukan bahasa keseharian. Kata dengan tingkat bahasa yang tinggi demi memenuhi syarat kehalusan dan ketinggian mutu ungkapan.
Maka, saya berpikir, kalau tidak diterjemahkan, orang akan kesulitan baca Babad Banyumas. Pertama karena tulisan Jawa. Kedua karena bahasa Jawa. Ketiga karena tembang Macapat.
Dengan pemikiran ingin memudahkan orang baca Babad Banyumas itulah saya kemudian menerjemahkannya. Saya belajar membaca per baris, kata demi kata, ungkapan demi ungkapan, untuk kemudian dirangkai menjadi kalimat.
Babad Banyumas Mertadiredjan yang aslinya berjudul Serat Babad Banyumas berisi 617 bait tembang. Terbagi dalam 23 pupuh dengan menggunakan 11 lengkap tembang Macapat. Dibuka dan ditutup kisahnya menggunakan tembang Dandanggula. Sementara isinya secara bergantian mengunakan tembang Sinom, Asmarandana, Maskumambang, Kinanthi, Durma, Pangkur, Pocung, Mijil, Gambuh, dan Megatruh.
Saya menerjemahkan Babad Banyumas hanya dengan modal nekad saja. Pengetahuan saya tentang kosa kata bahasa Jawa juga sangat terbatas. Berbakal bahwa saya sejak SD suka baca majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat, Mekar Sari, dan Jaya Baya.
Maka ketika bertemu dengan kata yang tidak saya pahami, saya pun mencari tahu ke beberapa orang yang saya anggap paham. Di antaranya bertanya pada saudara saya yang guru bahasa Jawa dan teman saya yang seorang dalang wayang kulit.
Selain bekal kemampuan yang pas-pasan, saya sebenarnya juga gagap dengan tembang Macapat. Hanya kebetulan Bale Pustaka, rumah budaya yang saya dirikan, mempunyai sekolah macapatan yang bernama Pangastawa, pawiyatan ngasti tata swara. Saya ikut belajar nyanyi macapat dan memahami tembang di situ. Hingga sambil menerjemahkan, saya belajar menyanyikannya.
Dengan keasyikan itulah, walau pelan, karena sambil belajar, akhirnya Babad Banyumas selesai saya terjemahkan.
Setelah diterjemahkan, biar bisa dibaca orang banyak adalah dengan menerbitkannya. Saya pun kemudian menawarkan ke beberapa teman untuk membiayai penerbitan itu. Silahkan untuk dibagikan gratis atau untuk dijual. Saya hanya menerjemahkan saja.
Namun, ternyata sulit mencari sosok yang peduli dan terpanggil menerbitkan.
Akhirnya, daripada naskah berhenti hanya diterjemahkan, saya pun kemudian menerbitkannya. Saya bentuk Penerbit Bale Pustaka Cahaya sebagai penerbitnya.
Maka sekarang Babad Banyumas sudah bisa dibaca siapa saja. Karena sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sudah bisa dinikmati oleh siapa saja meski tidak paham Macapat. Juga bagi siapa saja yang kurang akrab dengan bahasa Jawa.
Hingga sepertinya, ungkapan tentang buku yang tidak ditemukan pun perlu saya tambah.
“Kalau ada buku yang ingin kamu baca tapi kamu tidak menemukannya, maka kamulah yang harus menerbitkannya!”