Sebagaimana layaknya babad, dalam Babad Banyumas tentu ada kisah, ada cerita, ada peristiwa.
Babad adalah buku sejarah tradisional. Namun, dari cerita di dalam babad-lah kisah sejarah menjadi menyebar di tengah masyarakat. Tersebar luas menjadi cerita tutur rakyat. Membumi menjadi kisah yang lebih diingat dan dikenang daripada sekadar sebagai bacaan.
Dalam Babad Banyumas cerita tutur yang tercatat di antaranya adalah tentang asal-usul leluhur dinasti Banyumas. Sebuah kisah panjang yang menjadi dongeng keluarga. Bahkan menjadi dongeng masyarakat Banyumas, menjadi pengantar tidur dari generasi ke generasi.
Kisah yang pertama adalah tentang Raden Baribin. Seorang bangsawan Majapahit, adik Raja Majapahit, yang diusir oleh sang kakak karena dikhawatirkan akan memberontak. Kemudian menyelamatkan diri ke Pajajaran, menjadi menantu Raja Pajajaran.
Kisah kedua adalah tentang Raden Katuhu. Anak sulung Raden Baribin yang mengembara ke timur, ke wilayah perbatasan Majapahit dan Pajajaran. Sebagai pengembara yang mengabdi di kadipaten Wirasaba. Kemudian dijadikan anak angkat adipati, lalu mendapat anugerah menggantikan kedudukan.
Kisah ketiga adalah tentang Jaka Kaiman. Cucu Raden Baribin, anak Raden Banyaksasra, keponakan Raden Katuhu. Sang cucu mengembara ke Wirasaba, menjadi anak angkat bibinya, Rara Ngaisah, adik bungsu Raden Katuhu. Bernasib baik, setelah menjadi abdi di Kadipaten Wirasaba, kemudian diangkat menjadi menantu adipati, lalu menggantikan kedudukannya.
Kisah keempat adalah tentang Ki Tolih. Seorang patih dari Kerajaan Bonokeling. Patih yang diperintahkan rajanya untuk membunuh Raja Majapahit. Alasan pembunuhan karena dendam lama dari raja Bonokeling, sebagai keturunan Ciung Wanara.
Pada akhir kisah, Ki Tolih gagal menjalankan perintah rajanya. Kemudian bertobat. Lalu menjadi sosok yang disegani, bahkan menjadi ayah angkat Jaka Kaiman.
Banyak lagi kisah yang tertulis dalam Babad Banyumas. Namun, dari banyak cerita yang tercatat, empat kisah itulah yang dulu selalu jadi dongeng pengantar tidur. Termasuk saya pun mendapatkan kisah itu dari dongeng yang disampaikan ibu dan nenek saya.
Sementara sekarang, kebiasaan mendongeng sudah punah. Baik yang mendongengkan, para orang tua, yang sudah malas karena banyaknya acara sinetron di televisi. Juga anak-anak yang sudah malas mendengarkan dongeng dari orang tuanya. Menurut mereka, ceritanya tidak semenarik film-film unduhan dari internet.
Maka, membaca Babad Banyumas kemudian mendongengkannya sepertinya perlu dibudayakan lagi. Sebagai langkah penanaman karakter teladan para leluhur bagi generasi nanti.
Langkah itu sudah diawali oleh Ratmini Soedjatmoko Gandasubrata. Ia mendongengkan kisah-kisah dalam Babad Banyumas kepada cucu-cucunya, yaitu Nana, Isna, Galuh, Danya, Banu, Sami, dan Liam. Dongeng yang kemudian diterbitkan dalam buku “Sebuah Pendopo di Lembah Serayu”.