Setelah mendapatkan buku Babad Banyumas, baik yang versi tembang (puisi) maupun versi gancaran (prosa), saya kemudian terpikir menerjemahkannya.
Babad Banyumas ditulis dalam huruf Jawa, sementara generasi muda sekarang sudah tidak bisa baca aksara Jawa. Bahkan mereka pun sudah kurang akrab dengan kosa kata bahasa Jawa.
Maka kalaupun mereka mendapatkan buku Babad Banyumas, bisa dipastikan akan kesulitan membacanya. Mereka tak akan mampu menangkap maksudnya. Apalagi babad yang dalam bentuk tembang macapat. Lebih sulit lagi memahami isinya.
Dengan pertimbangan itulah, saya kemudian menerjemahkannya.
Naskah yang pertama saya terjemahkan adalah “Babad Banyumas Mertadiredjan”. Naskah yang aslinya berjudul “Serat Babad Banyumas”. Babad yang diperkirakan ditulis pada kisaran tahun 1824. Bentuknya tembang Macapat sepanjang 617 bait.
Naskah berikutnya yang saya terjemahkan adalah “Babad Banyumas Wirjaatmadjan”. Babad yang ditulis oleh Raden Wirjaatmadja pada kisaran tahun 1898. Bentuknya gancaran atau prosa.
Setelah kedua buku selesai saya terjemahkan, kemudian diterbitkan oleh Bale Pustaka Penerbitan. Niat utamanya tidak untuk dijual. Hanya menjadi koleksi yang bisa dibaca pengunjung Rumah Baca “Bale Pustaka”.
Karena sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonenesia, pembacaannyapun jadi lebih mudah. Ketika ada orang yang ingin baca, sudah tidak sulit lagi, kami sudah terbit bukunya.
Namun, sambutan teman-teman saya cukup membahagiakan. Buku terbitan sederhana itu banyak mereka pesan sebagai bacaan. Buku dengan ketebalan 320 halaman, ukuran A4, jilid hard cover.
Setelah menerjemahkan dan menerbitkan, saya kepikiran untuk melanjutkan memasyarakatkan Babad Banyumas.
Langkah pertama adalah saya ingin buku itu bisa dibaca oleh sebanyak mungkin orang. Kemudian dibahas, didiskusikan agar memahami sejarahnya. Maka, saya pun membuat sebuah acara obrolan pekanan dengan bahasan utama Babad Banyumas.
Tempatnya di ruangan Bale Papat, ruang pertemuan Bale Pustaka. Siapa saja boleh datang menjadi pesertanya. Saya akan mengantar perbincangan dengan tema tiap pekan. Tema yang sudah saya siapkan untuk satu tahun. Nama acaranya adalah “Dopokan Babad Banyumas”.
Acara digelar setiap hari Sabtu. Jam 8 sampai 10 pagi. Saya pilih hari Sabtu, karena Senin sampai Jumat untuk saya kerja, nulis, dan keliling makam. Selain itu juga untuk mengenang peristiwa Sabtu Pahing yang terkenal dalam Babad Banyumas.
Langkah kedua, setelah Dopokan lancar, saya melanjutkan dengan acara jalan-jalan. Peserta yang sudah tahu kisahnya akan saya ajak ke tempat yang menjadi cerita dalam babad. Petilasan dan makamnya kita kunjungi sebagai sebuah ziarah sejarah. Nama acaranya “Plesiran Babad Banyumas”.
Acara digelar setiap hari Minggu, pada akhir bulan. Saya sudah merancang 5 route ziarah, yang bisa untuk panduan titik-titik jelajahnya. Perjalanan pertama bertajuk “Dari Selarong Ke Banyumas”. Perjalanan ke dua “Dari Kaligajati Ke Kalibening”. Perjalanan ketiga “Dari Baribin Ke Kyai Mranggi”. Perjalanan keempat “Dari Kaiman Ke Kanjengan”. Dan perjalanan kelima “Dari Kepangeranan Ke Kepatihan”.
Bila kedua langkah itu berjalan, maka memasyarakatkan Babad Banyumas sebagai bahan bacaan semakin lancar.
Bale Pustaka sebagai rumah budaya telah menjadikan Babad Banyumas sebagai bahan kajian. Sekaligus menjadi wadah untuk membincangkan Babad Banyumas.
Dengan nyata Bale Pustaka berusaha menyatakan kepeduliannya pada Banyumas. Menerbitkan babad sebagai kepedulian atas sulitnya mendapatkan bukunya. Membahas babad sebagai kepedulian untuk membuka mata masyarakat Banyumas atas sejarahnya. Melakukan ziarah sejarah sebagai kepedulian untuk mengajak masyarakat merawat jejak leluhurnya.
Untuk mewujudkan semua itu, saya juga mendirikan “Komunitas Babad Banyumas”. Sebuah komunitas yang akan menjadi penggerak pemasyarakatkan Babad Banyumas.
Maka, dengan langkah-langkah sederhana itu, Bale Pustaka menyatakan diri sebagai “tempat yang tepat untuk membahas Babad Banyumas”.