Buku Babad Banyumas terjemahan saya, baik Mertadiredjan maupun Wirjaatmadjan, diterbitkan lengkap dengan latin Jawanya. Naskah Babad Banyumas Mertadiredjan aslinya berupa tembang Macapat (puisi). Naskah Babad Banyumas Wirjaatmadjan aslinya berupa gancaran (prosa).
Dalam tata letak bukunya, naskah asli di halaman kiri dengan huruf miring, naskah terjemahan di halaman kanan dengan huruf tegak. Dengan pembagian halaman demikian semoga memudahkan pembacaan.
Bahkan untuk lebih memudahkan, yang tertulis dalam halaman sebelah kiri, begitulah yang tertulis dalam terjemahan di sebelah kanan. Jadi, pembaca akan tahu penggalannya, sesuai naskah asli, sesuai naskah terjemahnya.
Untuk buku Babad Banyumas, saya merasa harus menerbitkan lengkap naskah aslinya. Karena dalam bayangan saya, mereka yang suka mengkaji babad pasti membutuhkannya. Naskah yang masih dalam bahasa Jawa.
Bahkan akan lebih baik lagi kalau naskah asli dalam huruf Jawa. Bagi yang ingin mempelajari lebih lanjut, setelah membaca naskah terjemahan saya, mereka bisa membaca naskah sebelum diterjemahkan.
Namun, bagi yang tidak perlu membaca naskah asli, hanya ingin tahu isinya saja, saya terbitkan buku kedua. Buku Terjemah Naskah Babad Banyumas. Buku ini adalah terjemahan dari Babad Banyumas. Baik Babad Banyumas Mertadiredjan maupun Babad Banyumas Wirjaatmadjan.
Apa bedanya buku Babad Banyumas dan Terjemah Naskah Babad Banyumas?
Buku Babad Banyumas dilengkapi naskah asli, buku Terjemah Babad Banyumas hanya terjemahannya saja.
Dengan hanya membaca terjemahannya saja, orang akan mudah memahami isi babad. Karena membaca babad menjadi seperti membaca buku biasa.
Bayangan saya, bagi mereka yang tidak perlu mengetahui naskah aslinya, dengan membaca buku itu sudah sama dengan membaca Babad Banyumas. Bahkan menjadi lebih mudah karena tidak dipusingkan dengan kisah yang terpenggal-penggal dalam bentuk puisi seperti dalam Babad Banyumas Mertadiredjan.
Namun, selain itu, saya melihat ada juga orang yang tidak masuk dalam kategori keduanya. Ada orang yang tidak tertarik membaca babad, juga tidak minat membaca sejarah. Maka, saya sedang berpikir untuk mengalihbahasakan dari bahasa babad dan sejarah menjadi bahasa cerita.
Bagi mereka yang suka membaca cerita, tidak akan tertarik membaca buku sejarah. Apalagi membaca babad. Dalam bayangan mereka, membaca sejarah bikin pusing dan tidak mengasyikkan. Apalagi membaca babad, pasti lebih mumet lagi dan terkesan jadul.
Untuk kelompok itu saya berniat akan menulis sebuah novel sejarah. Novel yang diangkat dari kisah dalam Babad Banyumas. Paling tidak ada 5 kisah yang bisa dijadikan bahan novel.
Pertama adalah kisah perjalanan Raden Baribin. Sejak dianggap akan memberontak oleh kakaknya, sampai perjalanan menyelamatkan diri ke barat. Melewati Ayamalas, Ayah, Kaleng, Pasirluhur, Kejawar, sampai Pajajaran. Dari seorang pelarian menjadi menantu Raja Pajajaran.
Kedua adalah kisah Raden Katuhu. Perjalanan ke arah timur, hingga akhirnya menjadi anak angkat Ki Buwaran. Karena kesaktiannya kemudian menjadi anak angkat Adipati Wirasaba. Karena ketampanannya menjadi banyak dambaan perempuan. Karena kesetiaannya kemudian diangkat menjadi menantu, menikahi anak tunggal sang adipati. Kemudian berkat restu dari Raja Mahapahit, kakak ayahnya, kemudian menjadi Adipati Wirasaba, menggantikan sang mertua.
Ketiga adalah Raden Jaka Kaiman. Seorang anak yatim Raden Banyaksasra, adik Raden Katuhu, yang kemudian diasuh oleh bibinya, Rara Ngaisah. Pindah dari Pasir Luhur ke Kejawar ketika masih bocah, menjadi anak angkat Kyai Mranggi Semu hingga remaja. Sejak anak-anak hingga dewasa, lalu mengabdi ke Wirasaba. Sampai kemudian diambil menantu oleh Adipati Wirasaba, Warga Utama. Kemudian diangkat menjadi adipati penggantinya.
Keempat adalah kisah berdirinya Kadipaten Banyumas. Karena Adipati Wirasaba Warga Utama terbunuh, maka Jaka Kaiman diangkat menjadi pengganti sang mertua. Kisah konflik tentu saja adalah hasil laporan palsu anak laki-laki Demang Toyareka yang membuat Joko Tingkir marah, hingga menjatuhkan hukuman mati pada Adipati Warga Utama. Setelah Jaka Kaiman menjadi Adipati Wirasaba, lalu membagi wilayahnya menjadi empat, hingga dikenal sebagai Adipati Mrapat.
Kelima adalah kisah Yudanegaran. Bahwa para Adipati Banyumas yang menggunakan nama Yudanegara kisah hidupnya begitu menarik. Ada yang tragis, ada yang heroik. Yudanegara I dikenal dengan nama Yudanegara Kokum, matinya dihukum penggal lehernya. Yudanegara II dikenal dengan nama Yudanegara Seda Pendapa, mati mendadak di pendapa. Yudanegara III dikenal dengan nama Danurejo, menjadi patih pertama Kesultanan Jogjakarta. Yudanegara IV dipecat dari kedudukannya karena dianggap akan memberontak. Begitu juga dengan Yudanegara V, dipecat karena meminta pada Rafles agar Banyumas dijadikan kesultanan.
Menurut saya, langkah menovelkan Babad Banyumas akan lebih mendekatkan masyarakat Banyumas pada sejarah leluhurnya.
Karena tidak harus membaca babad dan sejarahnya, cukup dengan membaca novelnya pun mereka sama saja mendapatkan hikmahnya.