Dari panggung ketoprak pula saya kemudian mengetahui pantangan yang menjadi pegangan masyarakat Banyumas. Pantangan yang bermula dari ucapan Adipati Warga Utama sebelum meninggal. Larangan atau pepali yang didasarkan pada kejadian kematian yang menimpanya. Babad Banyumas Mertadiredjan menuliskan kejadian tersebut dalam tembang Megatruh. Tembang macapat yang sangat tepat menggambarkan kesedihan dan kematian. “Samana kya adipati ngandika mring wadyanipun, padha seksenana sami, ing mbesuk sapungkuringong, anak putu aja kang ngambil mantu, wong ing Toyareka benjing, lan aja nganggo ing besuk, jaran wulu… Rampungna.
Penulise: NasSirun PurwOkartun
Wacanan
Nama Wirasaba sudah saya dengar sejak belia. Sejak pertama menyaksikan ketoprak tobong dengan lakon “Geger Wirasaba” yang dilanjut “Jaka Kaiman Winisuda”. Dulu, dua lakon itu digelar bergantian di balai desa kampungku. Hari pertama “Geger Wirasaba” yang mengisahkan kematian Adipati Wirasaba, Warga Utama I. Hari kedua “Jaka Kaiman Winisuda” yang mengisahkan Jaka Kaiman diangkat menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Warga Utama II. Lama mengendap dalam ingatan nama Wirasaba itu. Namun sampai usia dewasa saya tak pernah tahu di mana letaknya. Mungkin… Rampungna.
Wawancara Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M.Hum, 27 Tahun Berburu Babad Banyumas. Sepanjang berburu Babad Banyumas, saya tidak menemukan sosok lain yang menaruh perhatian penuh pada Babad Banyumas, selain Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum. Maka, sejak pertama mengenal namanya pada tahun 1999 lewat kolom sejarah Banyumas dalam halaman koran lokal Purwokerto, saya berusaha mengikuti hasil-hasil penelitiannya. Beberapa saya dapatkan dari buku-buku yang kemudian diterbitkan. Beberapa lagi saya baca dari artikel yang dimuat dalam berbagai jurnal sejarah. Namun, bisa sering bertemu… Rampungna.
Saya ingin Babad Banyumas menjadi bacaan masyarakat. Namun, yang lebih penting lagi, saya ingin Babad Banyumas menjadi bacaan generasi muda. Terutama anak-anak sekolah, usia SD sampai dengan SMP. Saya membayangkan, kisah dalam Babad Banyumas menjadi buku bacaan yang ada di seluruh perpustakaan sekolah. Hingga pewarisan cerita yang dulu dilakukan oleh orang tua dengan menjadikannya dongeng sebelum tidur, sekarang dilakukan lagi di sekolah. Bedanya, dulu didongengkan langsung oleh nenek atau ibu dan bapak, sekarang didongengkan dalam bentuk bacaan. Akan tetapi, dengan… Rampungna.
Buku Babad Banyumas terjemahan saya, baik Mertadiredjan maupun Wirjaatmadjan, diterbitkan lengkap dengan latin Jawanya. Naskah Babad Banyumas Mertadiredjan aslinya berupa tembang Macapat (puisi). Naskah Babad Banyumas Wirjaatmadjan aslinya berupa gancaran (prosa). Dalam tata letak bukunya, naskah asli di halaman kiri dengan huruf miring, naskah terjemahan di halaman kanan dengan huruf tegak. Dengan pembagian halaman demikian semoga memudahkan pembacaan. Bahkan untuk lebih memudahkan, yang tertulis dalam halaman sebelah kiri, begitulah yang tertulis dalam terjemahan di sebelah kanan. Jadi, pembaca akan tahu… Rampungna.
Pada waktu menulis pentalogi Serial Penangsang pijakan saya adalah naskah Babad Tanah Jawi. Maka, apa dan siapa yang dikisahkan dalam naskah Babad Tanah Jawi itu saya lacak jejaknya. Hingga datanglah saya ke Pajang, ke bekas kerajaan Joko Tingkir. Datang ke Demak, bekas Kesultanan Islam yang pertama didirikan para ulama. Datang ke Kalinyamat, Mantingan, dan Danaraja, bekas keraton, makam, dan pertapaan Ratu Kalinyamat. Lanjut ke bukit Prawoto, istana yang digunakan Sultan Demak kala musim hujan. Juga tempat Sunan Mukmi kemudian berdiam… Rampungna.
“Kalau ada buku yang ingin kamu baca, tapi kamu tidak menemukannya, maka kamulah yang harus menuliskannya.” Begitulah ungkapan yang pernah saya dengar. Begitu pula yang kemudian saya lakukan dengan Babad Banyumas. Karena hampir 5 tahun tidak menemukan buku Babad Banyumas, maka begitu menemukan saya langsung menerjemahkannya. Sepanjang 5 tahun itu, saya hanya menemukan buku-buku saduran dari Babad Banyumas. Buku-buku cetakan lama, yang tentu saja sudah tidak bisa ditemukan di toko buku. Saya dapatkan dari toko buku loak di lapak online.… Rampungna.
Setahu saya, pengarang sangat menghindari pengulangan kata dalam setiap kalimat yang ditulisnya. Juga sangat menghindari pengulangan kalimat dalam paragraf yang dituliskan dalam satu alineanya. Apalagi para pujangga, penulis tembang Jawa, para pengarang jaman dulu yang harus tunduk pada aturan lagu macapat. Taat pada guru gatra, guru wilangan dan guru lagu-nya. Patuh pada jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata tiap baris, dan akhir kalimat dengan vokal pasti. Maka, ketika saya membaca buku salinan Tedakan Serat Babad Banyumas yang diberi judul… Rampungna.
Bahagia saya tidak terkira. Babad Banyumas sudah punya dua naskahnya. Walau hanya kopiannya saja. Meski hanya edisi latin Jawanya saja, bukan yang edisi asli yang huruf Jawa. Saya merasa bangga mendapat buku Babad Banyumas salinan, ‘Tedakan Serat Babad Banyumas Natahamijaya’. Nasakah salinan dari buku ‘Serat Babad Banyumas Mertadiredjan’. Dulunya disalin oleh Raden Natahamijaya, Carik Jaksa Magetan, yang kemudian dilatinkan. Konon, naskah ‘Serat Babad Banyumas Mertadiredjan’ adalah satu-satunya naskah Babad Banyumas yang memuat silsilah sejarah kiri. Silsilah sejak dari Nabi Adam… Rampungna.
Setelah memiliki Babad Banyumas pertama saya kemudian menemukan yang kedua. Suatu hari saya melihat buku Babad Banyumas dijual di lapak online Facebook. Saya pun langsung berbinar ingin membelinya. Namun sial adalah kurang beruntung, atau keberuntungan yang tidak beruntung, karena ternyata buku itu sudah terjual. Sudah dibeli orang. Saya terlambat melihat. Namun dengan nafsu ingin memiliki, saya kirim pesan mesenger ke penjualnya. Intinya merayu agar disampaikan pada yang sudah membelinya, bahwa saya butuh banget buku itu, biar mengijinkan saya yang membelinya.… Rampungna.
Waktu itu saya mau menggelar acara pelatihan guru ngaji. Sebuah acara rutin dari Bale Cahaya, lembaga pembelajaran quran yang saya dirikan bersama Bale Pustaka. Biar tidak repot mikir menyiapkan makan, kami cari rumah makan sebagai tempat pelatihan. Akhirnya ditentukanlah tempatnya. Sebuah rumah makan bergaya klasik kolonial, sebuah bangunan tua di belakang gedung Kabupaten Banyumas, di Purwokerto. Tempatnya kecil, namun nyaman, ruangan training muat menampung 50 orang. Pada waktu memesan tempat, di dekat pintu masuk saya melihat sebuah rak buku. Sebagai… Rampungna.
Sewaktu masih di Solo saya asyik membaca Babad Tanah Jawi. Karena penulisan novel pentalogi Penangsang pijakannya adalah Babad Tanah Jawi. Hanya saja saya balikkan penceritaannya dengan data yang saya dapatkan dari keluarga Penangsang, ditambah penafsiran saya atas bacaan naskah-naskah lama. Setelah pulang kampung ke Banyumas, saya ingin membaca babad tanah kelahiran saya. Maka saya pun mencari ke orang-orang yang dalam pandangan saya memiliki naskahnya. Suatu kali, saya mendatangi penulis yang beberapa bukunya mengulas sejarah Banyumas. Saya menemuinya karena dalam daftar… Rampungna.
Saya menulis novel panjang Penangsang bermula dari kenangan masa kecil. Ketika kelas 4 SD setiap malam melihat pentas ketoprak tobong di desa saya. Dari panggung ketoprak itulah saya mengenal sosok Penangsang, berikut kisah yang membelitnya, terutama perseteruannya dengan Joko Tingkir. Tidak disangka, penasaran yang dibawa dari masa kecil itu kemudian melahirkan novel sepanjang lima jilid. Lima novel setebal bantal, karena setiap jilidnya 600-800 halaman. Bahkan tidak terasa juga, ternyata proses mencari jawaban atas penasaran masa kecil itu juga memakan waktu… Rampungna.
Kisah tragis Sabtu Pahing di Bale Malang menjadi cerita awal mula ketertarikan saya pada Babad Banyumas. Cerita berdarah itulah yang menjadi sebab berdirinya Banyumas. Dari panggung ketoprak saya pertama mengetahuinya. Dikisahkan Sultan Pajang, Joko Tingkir, meminta pada adipati bawahannya mengirimkan putrinya untuk dijadikan penari istana. Sebuah permintaan raja yang menjadi kebanggan bagi para bawahannya. Karena dengan menjadi penari adalah awal mula menjadi pelayan raja, yang bisa berakhir menjadi selir raja. Dengan menjadi selir maka akan menjadi kerabat kerajaan. Selanjutnya akan… Rampungna.
Kok bisa habis nulis novel Penangsang kemudian belok ke Babad Banyumas? Padahal novel Penangsang setting-nya pusat kekuasan Jawa, dari Demak sampai Pajang, sesuatu yang saya suka pelajari konfliknya. Sementara Babad Banyumas hanyalah kisah dari pinggiran, yang konfliknya tidak akan mempengaruhi kekuasaan di Jawa. Kisah Penangsang juga jelas berlatar belakang Islam Jawa, sesuatu yang membuat saya tertarik menuliskannya. Babad Banyumas belum jelas latarnya apa. Beda dengan Babad Pasirluhur, meski sama-sama dari wilayah Banyumas, tapi jelas islamnya, karena ada kaitan dengan Demak… Rampungna.
Sebagaimana layaknya babad, dalam Babad Banyumas tentu ada kisah, ada cerita, ada peristiwa. Babad adalah buku sejarah tradisional. Namun, dari cerita di dalam babad-lah kisah sejarah menjadi menyebar di tengah masyarakat. Tersebar luas menjadi cerita tutur rakyat. Membumi menjadi kisah yang lebih diingat dan dikenang daripada sekadar sebagai bacaan. Dalam Babad Banyumas cerita tutur yang tercatat di antaranya adalah tentang asal-usul leluhur dinasti Banyumas. Sebuah kisah panjang yang menjadi dongeng keluarga. Bahkan menjadi dongeng masyarakat Banyumas, menjadi pengantar tidur dari… Rampungna.
Setelah mendapatkan buku Babad Banyumas, baik yang versi tembang (puisi) maupun versi gancaran (prosa), saya kemudian terpikir menerjemahkannya. Babad Banyumas ditulis dalam huruf Jawa, sementara generasi muda sekarang sudah tidak bisa baca aksara Jawa. Bahkan mereka pun sudah kurang akrab dengan kosa kata bahasa Jawa. Maka kalaupun mereka mendapatkan buku Babad Banyumas, bisa dipastikan akan kesulitan membacanya. Mereka tak akan mampu menangkap maksudnya. Apalagi babad yang dalam bentuk tembang macapat. Lebih sulit lagi memahami isinya. Dengan pertimbangan itulah, saya kemudian… Rampungna.
Babad Banyumas adalah babad yang kaya naskahnya. Konon, sampai tahun 2010, sudah ditemukan 101 naskah dengan 65 versi. Jumlah 101 teks naskah itu meliputi 43 teks naskah, 38 teks ketikan, dan 20 teks cetakan. Sementara 65 versinya terdiri dari 56 versi gancaran (prosa) dan 9 versi tembang (puisi). Begitu hasil penelitian pengkaji Babad Banyumas, Prof. Dr. Sugeng Priyadi, M. Hum., ketika terakhir saya diskusi dengannya setahun silam, 2021. Namun saat itu saya belum sempat menanyakan dan mencatat detil dari 65… Rampungna.
Konon, Babad Banyumas banyak sekali naskahnya. Namun anehnya, tak satupun buku Babad Banyumas yang bisa didapatkan masyarakat sebagai bacaan. Baik di sekolah, di kampus, ataupun di perpustakaan-perpustakaan. Padahal, Babad Banyumas adalah sumber rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mengetahui sejarah yang terjadi di Banyumas. Dengan membaca Babad Banyumas masyarakat menjadi tahu sejarah tanah kelahirannya yang ternyata banyak menyimpan jejak hikmah. Kisah yang membentang sejak jaman Kerajaan Panjalu, Jenggala, Kediri, Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram. Berlanjut hingga jaman penjajahan… Rampungna.